Ketua Komisi XI DPR RI Muhammad Misbakhun.
JAKARTA- KABARPARLEMEN.COM – Ketua Komisi XI DPR RI Muhammad Misbakhun mengirimkan sinyal keras ke pemerintah: jangan lengah menghadapi potensi lonjakan harga minyak dunia akibat eskalasi konflik Iran-Israel.
Dengan keterlibatan Amerika Serikat di kawasan, volatilitas harga minyak bukan sekadar kemungkinan — tapi ancaman nyata bagi postur fiskal 2025.
Dalam forum virtual bersama INDEF, Minggu (29/6/2025), Misbakhun menyebut asumsi Indonesia Crude Price (ICP) dalam APBN 2025 yang dipatok di level USD 82 per barel masih berada dalam batas aman — untuk sekarang. Namun bila konflik di Timur Tengah memanas dan harga melonjak ke angka USD 90 bahkan USD 100, pemerintah dipaksa membuka laci skenario darurat: pengurangan subsidi energi, koreksi harga BBM, dan skema kompensasi sosial untuk kelompok rentan.
“Kalau ICP tembus USD 90, jangan kaget kalau harga BBM bersubsidi ikut naik. Ini bukan soal suka atau tidak suka, tapi soal menjaga APBN tetap bernapas,” ujar Misbakhun, yang juga politisi senior Partai Golkar.
Dampak Domestik: Inflasi & Daya Beli dalam Sorotan
Misbakhun mengutip data simulasi ekonomi yang menunjukkan bahwa jika ICP naik ke USD 100, inflasi diperkirakan hanya meningkat sekitar 0,32 basis poin — dari 2,38% ke kisaran 2,70%. Kabar baik? Mungkin. Tapi ia mengingatkan: “Stabil di atas kertas tidak berarti aman di lapangan. Daya beli masyarakat miskin bisa jatuh lebih dulu sebelum statistik bicara.”
Ia juga menyoroti tren pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya mencapai 4,87% pada kuartal pertama 2025 — di bawah target APBN sebesar 5,2%. Koreksi ini terjadi bahkan sebelum konflik Timur Tengah meletus. Misbakhun menyebut kondisi ini sebagai dampak akumulatif dari ketidakpastian global, termasuk apa yang ia sebut sebagai efek “Trump 2.0” — kebijakan ekonomi Amerika Serikat yang kembali agresif dan protektif.
Masih Ada Ruang Fiskal, Tapi Waktu Terbatas
Menurut Misbakhun, pendapatan negara dari sektor pajak dan non-pajak masih relatif aman. Pemerintah juga belum perlu menarik pembiayaan baru selama harga minyak masih di bawah asumsi. Namun ruang fiskal bisa cepat menyempit jika eskalasi geopolitik berlanjut.
“Pemerintah harus agile. Ini saatnya menyusun komunikasi fiskal yang matang dan responsif. Pasar perlu sinyal yang jelas — dan rakyat perlu kepastian,” tegasnya.
Ia mendorong sinergi antar-lembaga, termasuk Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, dan Bappenas, untuk menyiapkan skenario fiskal berlapis. Menurutnya, komunikasi kebijakan ke publik juga krusial agar ekspektasi inflasi dan respons pasar tidak liar.
Keseimbangan Baru Harus Dicari
Dengan ketegangan geopolitik yang belum menunjukkan tanda mereda, Misbakhun mengingatkan bahwa APBN 2025 harus fleksibel tapi tetap disiplin. Kebijakan subsidi tidak boleh jadi bom waktu fiskal, tapi juga tak bisa serta merta dipangkas tanpa perlindungan sosial yang memadai.
“Kalau fiskal goyah, yang pertama kena imbas adalah rakyat miskin. Maka skenario koreksi BBM harus dibarengi kompensasi yang kuat dan tepat sasaran,” tutup Misbakhun, yang juga dikenal sebagai doktor ekonomi lulusan Universitas Trisakti (Wan)