Wakil Ketua Komisi II DPR RI Bahtra Banong di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Selasa (24/6/2025). Foto: Mentari
JAKARTA, KABARPARLEMEN.COM — Penjualan pulau-pulau Indonesia secara daring bukan lagi kabar miring yang bisa disapu ke bawah karpet.
Dalam pernyataan tegas di Gedung Nusantara II, Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Bahtra Banong, menyebut praktik ini sebagai pelanggaran hukum terang-terangan dan menyerukan langkah korektif berbasis geospasial untuk mencegah kekosongan administratif yang kerap jadi celah.
“Pulau itu masuk kawasan konservasi. Kepemilikan seratus persen oleh pihak pribadi itu tidak dibenarkan. Kalau ada yang menjual, maka jelas itu melanggar hukum,” kata Bahtra seperti dikutip Kabarparlemen.com dari laman resmi DPR RI (25/6/2025).
Pernyataan itu menyusul laporan penjualan beberapa pulau di wilayah timur Indonesia yang diduga diiklankan melalui situs luar negeri. Lebih dari sekadar pelanggaran etika, kasus ini membuka pertanyaan besar soal lemahnya pengawasan negara terhadap wilayah terluarnya.
Negara Tidak Dijual, Tapi Pulau Bisa?
Bagi Bahtra, ini bukan sekadar soal jual-beli aset. Ini menyangkut kedaulatan. Dalam gaya bicara yang lugas, ia menegaskan bahwa siapa pun yang terbukti terlibat harus dipanggil dan diperiksa. “Apalagi jika mereka mengatasnamakan pemerintah. Ini sudah masuk ranah pidana dan harus ditindak,” ujarnya.
Kasus penjualan pulau seolah menelanjangi titik-titik lemah dalam pengelolaan batas wilayah. Dengan ribuan pulau yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, sistem administrasi negara tampak seperti jaring yang berlubang—dan celah-celah inilah yang dimanfaatkan oleh para spekulan.
Dorongan Penataan Wilayah Berbasis Geospasial
Sebagai solusi jangka panjang, Komisi II DPR mendorong pemerintah mempercepat penataan batas administrasi berbasis data geospasial. Ini tak hanya menyangkut batas provinsi atau kabupaten, tetapi juga batas desa yang selama ini banyak mengalami kekosongan data akibat pemekaran wilayah.
“Kita butuh kepastian. Kita harus selesaikan semua batas, termasuk antar-desa, agar tidak ada lagi ruang abu-abu,” tegas Bahtra.
Langkah ini dinilai krusial untuk menutup celah manipulasi di wilayah terpencil—daerah yang sering kali absen dalam radar kebijakan pusat, tetapi justru rawan dari sisi kedaulatan.
Penjualan pulau bukan hanya skandal properti. Ia adalah sinyal darurat soal lemahnya kontrol negara atas wilayahnya sendiri. Di era ketika data dan batas menjadi kunci geopolitik, DPR menuntut pemerintah tidak hanya bereaksi, tetapi bertindak sistematis. Geospasial bukan jargon teknis—itu instrumen kedaulatan (Wan)