Ilustrasi perampasan aset. Foto : dok Kabarparlemen.com
JAKARTA, KABARPARLEMEN.COM — Di balik gemerlap gedung parlemen yang menjulang di Senayan, sebuah rancangan undang-undang tengah menanti giliran untuk diperdebatkan. Ia bukan sekadar dokumen, tapi cermin dari pertarungan hukum, moral, dan keadilan yang mendalam: RUU Perampasan Aset.
Namun, sebagaimana hutan hujan yang tak bisa dipahami hanya dari satu batang pohon, RUU ini tak bisa berdiri sendiri. Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, mengibaratkannya sebagai simpul dalam jejaring kompleks regulasi hukum pidana Indonesia. “Pembahasan RUU Perampasan Aset dilakukan setelah pembahasan RUU KUHAP selesai,” ujarnya tenang, Selasa (24/6/2025), saat ditemui di Gedung DPR RI, Senayan.
Kita sedang menyaksikan dinamika politik hukum yang tak hanya soal pasal dan ayat. Seperti peta biodiversitas yang saling bersinggungan, materi perampasan aset tersebar di berbagai undang-undang: Tipikor, TPPU, KUHP, dan tentu saja KUHAP. Dalam pendekatan ini, DPR RI mencoba menyatukan simpul-simpul hukum tersebut agar harmonis dalam satu ekosistem hukum yang baru. Sebuah ikhtiar besar, bila tidak bisa dibilang ambisius.
“Bagaimana kemudian satu undang-undang yang punya persoalan yang sama soal aset itu bisa dikompilasi dan kemudian bisa berjalan dengan baik,” lanjut Dasco, politisi dari Fraksi Gerindra, memberi gambaran tentang pendekatan integratif yang diambil parlemen.
Antara Etika dan Efektivitas: Perdebatan Substansi
Layaknya konflik antara pelestarian alam dan pembangunan, RUU Perampasan Aset juga menghadirkan dilema: seberapa jauh negara bisa mengambil alih aset tanpa melanggar prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia?
Isu paling mengemuka adalah mekanisme perampasan aset tanpa putusan pidana (non-conviction based asset forfeiture). Bagi masyarakat sipil, ini adalah “jebakan hukum” yang berisiko menabrak asas praduga tak bersalah. Bagi pemerintah dan sebagian anggota DPR, ini adalah jalan pintas yang sah demi menyelamatkan kekayaan negara yang kerap menguap seiring kaburnya pelaku atau wafatnya terdakwa sebelum vonis dijatuhkan.
Dalam perspektif pemberantasan korupsi dan pencucian uang, RUU ini seperti harimau yang baru tumbuh gigi. Ia dibutuhkan agar negara tak selalu tertatih mengejar pelaku kejahatan keuangan lintas batas. Namun, gigi itu tak boleh menggigit tanpa pandang bulu.
Menunggu Waktu yang Tepat
RUU KUHAP kini menjadi batu penjuru yang harus selesai lebih dahulu. Barulah setelahnya, RUU Perampasan Aset bisa dibentuk dengan struktur hukum yang tak tumpang tindih—sebuah fondasi yang kokoh, bukan tambal sulam.
Reformasi hukum di Indonesia, sebagaimana upaya konservasi di alam liar, tak pernah selesai dalam semalam. Ia membutuhkan strategi jangka panjang, komitmen antarlembaga, dan yang terpenting, kepercayaan publik.
Dalam setiap pasal dan kalimat yang dibahas di ruang-ruang sidang parlemen, tersimpan harapan: bahwa hukum tak hanya menjadi alat kekuasaan, tetapi benteng keadilan.
Kini, kita hanya bisa menanti. Seperti musim yang menunggu hujan pertama, atau hutan yang menunggu tunas baru tumbuh. RUU Perampasan Aset jika kelak lahir dengan arif, bisa menjadi bagian dari perubahan besar yang kita butuhkan (Marwan Aziz).