Anggota Komisi IV DPR RI, Johan Rosihan.
JAKARTA, KABARPARLEMEN.COM — Ketika harga pangan melonjak dan konflik di Timur Tengah terus bergolak, suara dari parlemen Indonesia ikut mengeras.
Anggota MPR dari Fraksi PKS, Johan Rosihan, memperingatkan bahwa ketahanan pangan Indonesia berada di tepi jurang. Dalam pernyataan yang dirancang untuk menggugah perhatian lintas sektor, ia menyebut krisis pangan sebagai “bom waktu” bagi stabilitas nasional.
“Perang di Timur Tengah kini menjelma jadi krisis global yang turut mengancam stabilitas harga pangan di dalam negeri,” kata Johan dalam keterangan persnya yang diterima Kabarparlemen.com di Jakarta, (25/6/2025).
Bukan sekadar pernyataan politis. Johan memaparkan data teknis dan konsekuensi sosial dengan presisi seorang ekonom. Lonjakan harga minyak global yang sempat menyentuh $93 per barel untuk Brent menurutnya, berdampak langsung terhadap biaya transportasi, distribusi pangan, dan usaha tani. Walau harga Brent per Juni 2025 telah turun ke kisaran $79,21, volatilitas tetap jadi ancaman struktural.
Krisis Harga, Krisis Sosial
“Petani kita menanggung beban ganda,” tegas Johan, seraya menghubungkan lonjakan biaya produksi dengan penurunan daya beli masyarakat. Di sinilah krisis pangan melampaui batas-batas statistik dan masuk ke ranah keresahan sosial: gizi buruk, kemiskinan, bahkan potensi kerusuhan.
Indonesia, katanya, pernah menduduki peringkat ketiga tertinggi dalam tingkat kelaparan di ASEAN pada 2020. “Dan kita belum benar-benar belajar dari itu.”
Ketergantungan Impor: Titik Lemah Nasional
Johan tidak menutupi kenyataan pahit: ketergantungan impor untuk komoditas pangan strategis masih akut. Data yang ia bawa menyebutkan:
-
Kedelai: 78,44% impor
-
Gandum: hampir 100% impor
-
Bawang putih: 90,64%–95% impor
“Ketergantungan ini memperparah risiko ketahanan pangan. Ini bukan hanya soal neraca dagang, ini soal kedaulatan,” tegas anggota Komisi IV DPR RI itu.
Solusi Struktural: Dari Pompa Listrik hingga Hilirisasi
Tak berhenti di kritik, Johan memetakan tiga pilar solusi kebijakan:
-
Transisi Energi di Sektor Pertanian
Ia menyoroti keberhasilan program Electrifying Agriculture yang berhasil menekan biaya irigasi hingga 85%, dengan lebih dari 240.000 petani peserta aktif pada akhir 2023. Pompa listrik menggantikan diesel, efisiensi meningkat, biaya berkurang, dan energi lebih bersih. -
Hilirisasi Produk Pangan Lokal
Johan menyebut ini sebagai cara “mengubah petani dari produsen bahan mentah menjadi penggerak industri pangan”. Efeknya? Peningkatan pendapatan petani, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan ekspor—terutama untuk komoditas seperti kelapa, yang ditargetkan naik dari Rp20 triliun menjadi Rp60 triliun. -
Distribusi Berbasis Energi Terbarukan
Distribusi pangan masih menjadi titik lemah. Johan mengusulkan sistem distribusi terintegrasi dengan energi terbarukan sebagai perpanjangan dari kebijakan transisi energi. Tujuannya: memangkas ongkos logistik, mengurangi kerugian pascapanen, dan menjaga stabilitas pasokan.
Johan Rosihan menempatkan ketahanan pangan di jantung politik nasional: bukan sekadar soal panen, tetapi urusan pertahanan, fiskal, dan stabilitas negara. Ia mendesak agar pemerintah tak lagi menjadikan krisis sebagai alasan kebijakan tambal sulam.
“Jika negara ingin tahan terhadap krisis global, maka dapur rakyat harus dijaga,” pungkasnya (Wan)