JAKARTA, KABAR PARLEMEN.COM – Pemerintah, akhirnya hanya meloloskan 24 orang dari 75 pegawai KPK yang sebelumnya dinyatakan tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Artinya, hanya sepertiga dari 75 orang yang dimaksud.
Pemerintah dan KPK bersikukuh bahwa 51 orang lainnya tidak dapat diloloskan dengan cara apapun. Dan alih-alih diloloskan, ke 51 orang tersebut malah mendapat cap lebih keras, yaitu diberi nilai merah, dan tidak dapat dibina.
Aktifis Nurani ’98 Ray Rangkuti berpandangan bahwa penyematan dua status itu tentu saja sangat mengerikan bagi masa depan karir dan hidup sosial mereka karena tercatat dalam sejarah.
Karena keputusan tersebut sudah menjadi keputusan pemerintah.
Kata Ray, keputusan Pemerintah tersebut sangat kecewa pada keputusan pemerintah dan KPK yang dengan dasar hasil TWK tetap tidak meloloskan sebagian besar staf KPK padahal sebelumnya Presiden menyatakan TWK hendaknya tidak menjadi dasar pemberhentian.
“ Lebih kecewa lagi karena TWK mulai mengarah kepada politik penyingkiran orang-orang bersih dan berdedikasi, khususnya di dalam pemberantasan korupsi. Tidak sulit mengira bahwa model seperti ini akan menjadi model seleksi yang pada akhirnya hanya akan menyingkirkan mereka yang tidak tunduk pada kekuasaan,” ujar Ray dalam keterangan tertulisnya atas nama mantan aktivis ’98 dari berbagai kampus dan latar belakang, yang tergabung dalam NURANI ’98.
Karena itu, kata Ray, Nurani ’98 meminta presiden untuk mengevaluasi model TWK yang diberlakukan. Karena TWK yang digunakan tidak seperti standar tes untuk ASN pada umumnya. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam TWK staf KPK terlihat hanya menyasar satu keyakinan keagamaan tertentu. Sekaligus berpotensi melecehkan kaum perempuan dan keyakinan aliran keagamaan tertentu. TWK seperti ini justru berpotensi memecah belah bangsa, bukan menyatukannya.
Materi TWK yang sempit, yang hanya berputar pada masalah keyakinan aliran keagamaan seseorang, hanya menyempitkan wawasan kebangsaan bangsa. Padahal, wawasan kebangsaan sejatinya juga berhubungan dengan cara pandang pada pemberantasan korupsi, kemandirian bangsa, identitas nasional, pemenuhan janji politik, ketaatan atas hukum, menjaga etika Bangsa dan demokrasi.
“Inilah salah satu poin dan subtansi kritik luas masyarakat atas TWK yang malah diabaikan oleh pemerintah,” tegasnya.
Pelabelan merah dan tidak dapat dibina, menurut Ray, jelas sangat melukai korbannya. Cap ini akan melekat terhadap mereka sepanjang hidupnya. Setelah puluhan tahun mereka mengabdikan diri pada bangsa dengan menjerat para koruptor ke penjara, balasan pemerintah atas mereka malah label merah dan tidak dapat dibina. Tak terperikan beban yang akan mereka tanggung kelak. Sementara para koruptor dan mantan koruptor tetap bebas untuk melanjutkan karir mereka di jabatan manapun, para pendekar korupsi ini malah punya potensi karir dan masa depannya akan terpenjara seumur hidup.
“NURANI ’98 melihat ini tidak sejalan dengan makna ‘keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’ (sila ke 5 Pancasila),” tegas Ray.
Berdasarkan hal itu, tegas Ray, NURANI ’98 menuntut presiden demi kemanusiaan yang adil dan beradab untuk membatalkan keputusan tersebut. Pidato presiden sebelumnya sudah dengan tegas dan jelas menyebut bahwa hasil TWK tidak dapat dijadikan sebagai patokan kelolosan staf KPK menjadi ASN. Presiden juga mengutip keputusan MK tentang pegawai KPK yang tidak boleh dirugikan oleh revisi UU KPK. Tak ada tafsir apapun atas hal itu kecuali presiden menyatakan bahwa TWK yang sebelumnya dianggap tidak ada.
“Dan karenanya seluruh staf KPK menjadi ASN kecuali yang menyatakan diri berhenti atau mundur,” ujarnya.
Kata Ray, jika presiden tidak melakukan apapun atas hal ini, NURANI ’98 memandang pidato presiden hanyalah prank belaka. Semata hanya meredam kritik publik. Bukan mendengarnya. Tentu saja, mengelola negara dengan cara-cara prank jauh dari wawasan kebangsaan yang benar.
Pun juga begitu, para bawahan presiden yang memperlihatkan ketidakpatuhan atas perintah presiden memperlihatkan adanya masalah wawasan kebangsaan di dalamnya. Oleh karena itu mereka (Menpan RB, BKN) layak ditegur bahkan diberi sanksi. Pembantu presiden yang mengabaikan perintah presiden tentu layak dipertanyakan wawasan kebangsaannya. Ini, tentu saja, jika presiden tidak setuju pdaa keputusan BKN.
“Tapi jika presiden tetap diam, berarti membenarkan kesimpulan bahwa Presiden lakukan prank!. Dalam bahasa lain Presiden melakukan dramaturgi saja. Jangan salahkan kami jika pada titik ini kami bosan dengan dramaturgimu Presiden!,” pungkasnya.(JAY)