JAKARTA, KABARPARLEMEN.COM- Anggota Komisi XI DPR RI Puteri Anetta
Komarudin mengimbau Pemerintah untuk meningkatkan efektivitas
pengelolaan utang.
Tidak hanya itu, pemerintah juga perlu memperhatikan
stabilitas rasio utang Pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)
untuk menjaga kredibilitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
dalam menghadapi tekanan perekonomian akibat pandemi virus Corona
(Covid-19).
Merujuk Ikhtisar Hasil Pemeriksaan
Semester (IHPS) II Tahun 2019 yang disampaikan Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK) RI, terungkap kinerja pengelolaan utang negara oleh Pemerintah
pada 2018 hingga triwulan III 2019 belum maksimal dan berpotensi
menimbulkan gangguan keberlangsungan fiskal di masa mendatang.
Dengan diterbitkannya Perpres Nomor 54
tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN TA 2020, pemerintah
mencatat kenaikan pembiayaan utang menjadi Rp 1.006,4 triliun dari
perencanaan semula sebesar Rp 351,8 triliun. Kenaikan tersebut seiring
dengan meningkatnya outlook defisit anggaran yang kini mencapai 5,07
persen untuk membiayai belanja stimulus pemerintah dalam rangka
penanganan pandemi.
“Penambahan nominal utang serta
peningkatan proyeksi rasio utang terhadap PDB tahun ini dapat dianggap
sebagai konsekuensi logis atas kejadian luar biasa akibat pandemi
(Covid-19). Namun, bukan berarti pengelolaan utang saat ini sudah
optimal, selalu ada ruang untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan,”
kata Puteri dalam keterangan pers tertulisnya yang diterima Kabarparlemen.com.
Ketua Kaukus Pemuda Parlemen Indonesia
(KPPI) ini mencontohkan, misalnya dengan dengan dukungan peraturan
terkait manajemen risiko keuangan negara dan penerapan analisis
keberlanjutan fiskal, termasuk analisis keberlanjutan utang Pemerintah
secara komprehensif. Sebagaimana merujuk pada rekomendasi hasil
pemeriksaan BPK yang disampaikan dalam Rapat Paripurna, 5 Mei lalu.
Per akhir Maret 2020, akumulasi posisi
utang Pemerintah mencapai Rp 5.192,56 triliun atau naik sebesar Rp
244,38 triliun atas posisi utang pada Februari 2020, dengan rasio total
utang pemerintah terhadap PDB mencapai 32,12 persen. Rasio tersebut
diproyeksikan melonjak hingga 36 persen akibat potensi peningkatan beban
utang seiring dengan prediksi dinamisnya outlook defisit anggaran
sepanjang 2020.
Walaupun lonjakan rasio tersebut masih di
bawah ambang batas yang ditetapkan dalam UU Keuangan Negara, yaitu
maksimal 60 persen terhadap PDB, Puteri menilai rasio total hutang
tersebut masih lebih tinggi dibandingkan rasio total utang terhadap PDB
tahun 2019 sebesar 29,8 persen dan 10 tahun terakhir yang tidak melebihi
30 persen. Menurut Puteri, dalam keadaan normal saja, optimalisasi
pengelolaan utang diperlukan.
“Terlebih saat ini, ketika hampir semua
asumsi dasar makro dan keadaan pasar mengalami tekanan luar biasa yang
tidak pernah diprediksi sebelumnya. Justru, inilah saatnya pengelolaan
utang yang baik perlu ditingkatkan untuk semakin hati-hati, akuntabel,
dan transparan. Tentu dengan tetap menjaga agar sesuai ambang batas
rasio dan tata kelola komposisi utang yang terukur, serta memperbaiki
produktivitas penggunaan utang untuk menghindari kehilangan peluang,”
ujar politisi Partai Golkar itu.
Di sisi lain, Bank Indonesia (BI)
memprediksi penguatan nilai tukar rupiah tahun 2020 berada pada kisaran
Rp 15.100–15.500 per dollar AS. Kurs rupiah sempat mengalami depresiasi
cukup dalam hingga di atas Rp 16.620 per dollar AS pada pertengahan
Maret lalu, seiring eskalasi wabah pandemi Covid-19 di Indonesia.
Outlook penguatan stabilitas nilai tukar Rupiah diperkirakan menguat ke
arah Rp 15.000 per dollar AS mulai kuartal III dan IV tahun 2020.
Sementara, kurs rupiah pada Jumat (8/5/2020) dibuka pada Rp 15.025 per
dollar AS.
“Saya menyambut dengan optimis atas
prediksi menguatnya nilai tukar rupiah pada semester kedua tahun ini,
khususnya setelah kita dihadapkan dengan gejolak pasar yang begitu berat
sejak awal tahun. Optimisme ini tentu tidak membuat kita berpangku
tangan,” tegas legislator dapil Jawa Barat VII itu.
Justru menurutnya, sentimen positif akan
stabilitas nilai tukar rupiah perlu didukung. “Melalui pengelolaan APBN
yang produktif untuk mendanai program-program prioritas pemerintah
selama masa pandemi. Saya berharap hal ini juga dapat dibarengi dengan
peningkatan kinerja pemerintah dan otoritas terkait seperti BI, OJK, dan
LPS dalam merumuskan operasi fiskal dan moneter,” tutup Puteri.
(dpr/kp)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar