Mukhamad Misbakun.
JAKARTA, KABARPARLEMEN.COM- Rapat Kerja Komisi XI DPR RI dengan Menteri Keuangan pada akhir April lalu mengungkap bahwa Pemerintah membutuhkan Rp 1.439,8 triliun untuk menutup defisit APBN 5,07 persen.
Pembiayaan tersebut akan dipenuhi dengan menerbitkan surat utang pemerintah pada Kuartal II hingga IV mencapai Rp 856,8 triliun, yang bersumber dari Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 506,8 triliun dan penggunaan Saldo Anggaran Lebih (SAL) dan Global Bond senilai Rp 300 triliun.
Sesuai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020, Bank Indonesia diperbolehkan untuk membeli maksimal 25 persen sesuai dengan kesepakatan dengan pemerintah. Dari mekanisme tersebut, jumlah pembelian SBN di pasar perdana oleh BI untuk pembiayaan umum APBN above the line diperkirakan mencapai Rp 125 triliun. Nantinya hal tersebut digunakan untuk menstabilkan nilai tukar rupiah, serta untuk melonggarkan giro wajib minimum (GWM).
Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakun justru mempertanyakan mengapa BI hanya dapat menyerap SBN sebesar 25 persen. Tidak sampai di situ, politisi Fraksi Partai Golkar itu juga mempertanyakan pernyataan Gubernur BI Perry Warjiyo yang menekankan tugas stabilitas kurs rupiah tersebut. Ia juga menilai DPR RI membutuhkan penekanan soal transmisi pelonggaran GWM.
“Saya ingin tahu kenapa kok hanya mau 25 persen, lalu mengapa kok ditawarkan ke market padahal market hanya menyerap sedikit. Kalau stabilisasi yang dilakukan BI untuk menekan yield SBN, kenapa BI malah ingin Pemerintah lepas dulu, kalau BI langsung beli dengan bunga tertentu kan ini bisa kita hitung biasanya sejak awal,” kata Misbakhun dalam Rapat Kerja Komisi XI DPR RI secara virtual dengan Kementerian Keuangan, BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Rabu (6/5/2020).
Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan sebagian quantitative easing yang digelontorkan bank sentral hingga Rp 503,8 triliun telah digunakan untuk pelonggaran GWM dan pembelian SBN dalam rangka mengstabilkan nilai tukar rupiah. Jika tidak ada stabilisasi, Ia melihat imbal hasil SBN bisa mencapai 8-9 persen.
“Kami waktu menstabilkan nilai tukar ketika investor asing menjual semua, kan waktu itu rupiah naik hampir Rp 17.000, tugas kita stabilisasi dengan membeli SBN di pasar sekunder. Kita bantu Ibu Menkeu untuk menstabilkan yield SBN, oleh karena itu cadangan devisa kita turun,” ungkap Gubernur BI seperti dikutip dalam laman resmi DPR RI.
Berdasarkan skema above the line tersebut, Perry menegaskan ketentuannya sudah diatur bahwa imbal hasil tidak akan naik. Selain itu, pembahasan mengenai kebutuhan SBN dan pelonggaran GWM untuk pemulihan ekonomi juga akan terus dihitung. Sedangkan untuk mekanisme below the line, akan ditetapkan setelah adanya program pemulihan ekonomi nasional dari Pemerintah. “Prinsipnya untuk SBN itu tidak lebih dari biaya operasi moneter, bukan tidak sharing burden. Pemerintah punya rekening di BI, kan itu mengkompensasi,” jelasnya.
Terkait hal tersebut, Misbakhun kembali mengingatkan bahwa sampai saat ini pemerintah sudah mengalami kesulitan uang. “Kas negara ini sudah nggak ada pak (Gubernur BI), penerimaan pajak rendah, kalau ini sharing the pain-nya BI, ini dengan segara hormat mari kita konsepkan bersama,” tegas legislator dapil Jawa Timur II itu.
Sesuai rincian outlook pembiayaan utang 2020, penerbitan SBN dalam rangka pandemi Covid-19 tidak dilakukan melalui seri khusus pandemic bonds melainkan menjadi bagian dari penerbitan SBN secara keseluruhan baik melalui lelang, ritel, maupun private placement, baik dalam maupun luar negeri. Kebijakan penurunan GWM dan PLM oleh BI akan menambah likuiditas di pasar keuangan yang kemudian ditempatkan perbankan pada investasi di pasar perdana SBN. (dpr/kp)