Oleh: H. Jazilul Fawaid *
Dalam lima tahun ke depan, diplomasi Indonesia diproyeksikan akan
menjadi sangat sibuk. Indikasinya sangat jelas. Keanggotaan Indonesia di
beberapa organisasi regional dan global akan menjadi lebih strategis
karena menduduki jabatan kunci. Indonesia akan menjadi Ketua ASEAN pada
2023.
Indonesia juga akan menjadi Ketua G-20, sebuah forum global yang
beranggotakan negara-negara maju yang menguasai perekonomian dunia.
Selain itu, Indonesia juga berkomitmen untuk lebih menggalakkan peran
dan kontribusi sebagai sebagai anggota Dewan Keamanan dan Dewan HAM PBB,
serta Organisasi Maritim Internasional.
Partisipasi dalam kancah politik global merupakan pengejawantahan
mandat Pembukaan UUD NRI 1945 bahwa Indonesia sebagai warga dunia harus
ikut serta dalam memelihara perdamaian dunia, berdasarkan prinsip
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Keanggotaan dalam
berbagai forum internasional juga merupakan perwujudan dari politik luar
negeri bebas aktif yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa.
Pelaksanaan kedua mandat tersebut akan menemukan momentumnya dalam waktu
dekat merujuk peluang Indonesia untuk menjadi aktor politik
internasional yang lebih strategis dan dominan dalam beberapa tahun ke
depan.
Tantangan organisasional
Dalam konteks ASEAN sebagai organisasi regional negara-negara kawasan Asia Tenggara, Indonesia menyandang status sebagai founding father
dan negara kunci. Namun demikian, status tersebut tidak serta-merta
membawa keuntungan bagi Indonesia.
Di sinilah tantangan yang harus
dibuktikan Indonesia untuk menguji kredibilitas dan kapabilitas atas
status yang disematkan tersebut. Tantangan dalam organisasi regional ini
tidaklah mudah. Meskipun kedaulatan masing-masing negara dibuhulkan
dalam satu komitmen bersama, konflik intra kawasan masih potensial
terjadi terutama terkait sengketa perbatasan, klaim produk-produk seni
dan budaya, serta polusi asap sebagai akibat kebakaran hutan.
Komitmen ASEAN untuk menjadi satu komunitas tunggal dalam berbagai
bidang sebagai bagian dari Visi ASEAN 2020 juga masih menuntut soliditas
dari seluruh negara anggota. Situasi geopolitik kawasan juga semakin
memanas merujuk aksi unilateral Tiongkok di awal tahun yang melanggar
hak berdaulat Indonesia di perairan Natuna Utara.
Di satu sisi, tindakan
Tiongkok ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah Indonesia
untuk menyelesaikannya. Di sisi lain, tindakan Tiongkok menjadi modal
soisial untuk mengukuhkan semangat satu ASEAN mengacu pada fakta bahwa
Tiongkok sudah lama berkonflik dengan negara-negara anggota ASEAN
lainnya terkait klaim kedaulatan di Laut Tiongkok Selatan.
Menjadi Ketua G-20 adalah hal yang prestisius bagi Indonesia. Forum
yang beranggotakan 19 negara ekonomi maju ditambah Uni Eropa ini
setidaknya menguasai 80 persen total perdagangan dan 90 persen produk
nasional bruto dunia.
Setidaknya ada dua tantangan besar yang harus
direspons Indonesia bilamana menduduki posisi ini nantinya. Pertama,
tantangan untuk menciptakan upaya-upaya regulatif dalam memitigasi
potensi terjadinya krisis finasial global. Kedua, komitmen bersama
negara anggota untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan
harus peduli terhadap prinsip pemerataan dan keadilan bagi negara-negara
berkembang lainnya di belahan dunia.
Indonesia mendapatkan batu ujian yang cukup keras terkait
keanggotaannya di Dewan Keamanan dan Dewan HAM PBB. Keanggotaan yang
singkat pada kedua badan strategis PBB ini pada prinsipnya harus
dimanfaatkan seoptimal mungkin melalui peran dan kontribusi yang
konkret. Isu reformasi struktur DK PBB tentu saja bukan hal yang tabu
untuk terus menerus disuarakan.
Indonesia yang akan menjadi Ketua DK PBB
selama satu bulan pada Agustus 2020 nanti juga dihadapkan pada fakta
bahwa negara anggota tetap seperti Amerika Serikat dan Tiongkok masih
gemar menempuh langkah unilateral ketimbang menghayati posisinya sebagai
polisi global di DK PBB.
Aksi militeristik Amerika Serikat di Irak yang menewaskan perwira
tinggi Iran, Qassem Soleimani, menjadi preseden buruk yang dapat
menyeret banyak negara ke medan perang. Irak yang menjadi lokus aksi
unilateral tersebut merespons dengan melakukan pengusiran terhadap
seluruh pasukan Amerika Serikat yang ada di wilayahnya. Iran bahkan
memancangkan bendera merah di seluruh negeri, tanda bahwa mereka siap
berperang.
Dalam konteks HAM, Indonesia berkomitmen untuk menancapkan
pengaruh yang lebih besar dalam hal penegakan HAM di dunia. Hal ini
dibuktikan secara konkret melalui dukungan yang simultan terhadap
perjuangan kemerdekaan Palestina.
Namun demikian, agenda menjadi bertambah tatkala isu diskriminasi
terhadap etnis Uyghur di Xinjiang, Tiongkok, menggelinding menjadi isu
global yang menyita perhatian dunia. Terlepas dari segala akar
permasalahan yang ada di wilayah tersebut, apakah separatisme yang
berbalut terorisme atau kausa lainnya, hal-hal yang sifatnya
diskriminatif dan melanggar HAM tetap harus dieliminir.
Tiongkok boleh
saja menganggap kasus ini sebagai isu domestik yang tidak boleh
diintervensi negara lain, tapi kemanusiaan merupakan hal yang sifatnya
universal dan harus diperjuangkan oleh semua bangsa dan negara di dunia.
Diplomasi aktif dan kontributif
Diplomasi secara sederhana merupakan langkah teknis dalam upaya
mencapai kepentingan nasional. Diplomasi pada umumnya diletakkan dalam
kerangka relasi antara kebutuhan domestik dan realitas internasional.
Namun demikian, konteks diplomasi menjadi lebih bijak tatkala
kepentingan nasional sebuah negara melebur sebagai komitmen bersama
dalam sebuah organisasi supranasional. Inilah yang menjadi batu pijakan
bagi Indonesia untuk tidak hanya bebas aktif, tapi juga kontributif
melalui berbagai langkah nyata.
Pertama, diplomasi yang berkaitan dan kepentingan kedaulatan negara
sedapat mungkin dilaksanakan secara tegas tapi lentur. Tegas artinya
Indonesia tidak berkompromi dengan hal apapun yang berpotensi menggerus
martabat bangsa, sedangkan lentur bermakna Indonesia menghindari perang
dan penggunaan senjata dalam menyelesaikan konflik. Perang merupakan
pilihan terakhir tatkala diplomasi menemui jalan buntu.
Kedua, berbagai tantangan global di bidang politik dan keamanan
seoptimal mungkin diselesaikan dalam kerangka organisasi yang
dinahkodai. Pilihan ini sangat rasional karena di era multilateralisme
saat ini, kalkulasi kekuatan sebuah negara dalam menyelesaikan sebuah
isu dihitung secara kumulatif dari kapasitas nasional dan bobot
keanggotaannya dalam sebuah organisasi.
Upaya menekan Tiongkok dalam
kasus Natuna Utara misalnya, akan memiliki daya gebrak yang besar
apabila Indonesia mengartikulasikan kepentingan nasionalnya melalui
kerangka ASEAN dan DK PBB.
Ketiga, diplomasi ekonomi semakin menunjukkan urgensinya dalam
dinamika hubungan antarnegara. Konflik di banyak negara lebih banyak
diselesaikan dalam kerangka hubungan timbal-balik dalam hal ekonomi,
bukan melalui tekanan politik dan agresi militer. Oleh sebab itu,
keanggotaan di G-20 harus benar-benar dioptimalkan guna mendukung
fundamental perekonomian Indonesia serta menopang ketahanan ekonomi
kawasan.
Terakhir, diplomasi membutuhkan citra domestik yang kuat. Semua imej
yang dibangun di tataran internasional akan menjadi pudar apabila di
level domestik stabilitas politik dan ekonomi tidak dapat dikendalikan
dengan baik.
Beberapa momen penting skala nasional yang akan dihelat
tahun ini seperti Pilkada 2020 harus bisa dikelola dengan baik dan
dikonversi menjadi modal diplomatik di panggung global. Dengan komitmen
yang kuat serta konsistensi dalam mewujudkan tujuan nasional melalui
diplomasi, kiprah Indonesia diharapkan akan semakin bersinar terang. ***
Penulis adalah Wakil Ketua Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI).
Post Top Ad


Home
Diplomasi Indonesia
Indonesia
Internasional
Jakarta
Jazilul Fawaid
Kabar Parlemen
Kolom
Kolom Parlemen
MPR
Terkini
Diplomasi Indonesia 2020
Diplomasi Indonesia 2020
Editor
Januari 17, 2020
Diplomasi Indonesia,
Indonesia,
Internasional,
Jakarta,
Jazilul Fawaid,
Kabar Parlemen,
Kolom,
Kolom Parlemen,
MPR,
Terkini,
Share This
Tags
# Diplomasi Indonesia
# Indonesia
# Internasional
# Jakarta
# Jazilul Fawaid
# Kabar Parlemen
# Kolom
# Kolom Parlemen
# MPR
# Terkini
Share This

About Editor
Terkini
Label:
Diplomasi Indonesia,
Indonesia,
Internasional,
Jakarta,
Jazilul Fawaid,
Kabar Parlemen,
Kolom,
Kolom Parlemen,
MPR,
Terkini
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar