Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo. Foto : ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/
JAKARTA, KABARPARLEMEN.COM- Dialog-dialog dalam karya yang dipentaskan 34 tahun yang lalu masih relevan dengan situasi Indonesia saat ini.
Di tengah kesibukannya sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, Bambang Soesatyo (Bamsoet) menyempatkan diri melihat pementasan mahakarya WS Rendra Panembahan Reso di Gedung Teater Ciputra Artpreneur, Jakarta, Sabtu (25/1).
Bamsoet, panggilan akrabnya, masih berdecak kagum atas permainan Sha Ine Febriyanti sebagai Ratu Dara yang antagonis dan Whani Dharmawan sebagai Panembahan Reso yang licik.
Menurut Bamsoet, menonton pementasan bagaikan menyaksikan kembali drama kekuasaan yang penuh intrik, kekejaman, dan ketamakan.
“Semuanya masih relevan kendati naskah itu dibuat Rendra 34 tahun lalu saat mengkritik Orde Baru,” kata Bamsoet dalam keterangan tertulisnya.
Bamsoet pun mengenang kedekatannya dengan WS Rendra saat masih menjadi wartawan pemula di harian Prioritas milik Surya Paloh atau Media Indonesia Group. Sejak 1980-an, ia telah mengenal WS Rendra tidak hanya melalui sajak-sajaknya, tetapi justru mengenalnya secara langsung.
Bamsoet yang lulus kuliah pada 1985 dan menjadi wartawan ditugasi untuk menulis tentang Bengkel Teater dan profil WS Rendra yang dijuluki sebagai ‘si Burung Merak’.
Bamsoet yang telah mengenal dunia jurnalistik ketika menjadi pemimpin redaksi majalah mahasiswa Universitas Jayabaya semasa kuliah itu juga ditugasi meliput pergelaran Panembahan Reso yang sangat spektakuler kala itu, mulai persiapan hingga pementasan, serta menulis berbagai cerita di balik layar.
“Begitulah perkenalan saya dengan Rendra yang terus berlanjut. Bahkan saya mengikuti pentas Rendra pada pergelaran berikutnya ketika ia berkolaborasi dengan Kantata Takwa. Hingga akhirnya Allah SWT memanggilnya lebih dulu,” kenang Bamsoet yang pernah menjadi Pemimpin Redaksi Harian Umum Suara Karya.
Panembahan Reso pertama kali dipentaskan Bengkel Teater pada 26-27 Agustus 1986. Pertunjukan itu menjadi kritik terhadap pemerintahan Orde Baru. “Kisah ini merupakan karya Rendra yang merefleksikan bagaimana di suatu pemerintahan, perebutan kekuasaan diraih dengan cara-cara licik dan penuh darah. Demi kekuasaan, apa pun dikorbankan, termasuk rakyat, keluarga, dan sahabat,” tutur pria kelahiran 10 September 1962 tersebut.
Dialog-dialog dalam mahakarya Rendra tersebut, terang politikus Golkar itu, masih relevan dengan kondisi saat ini. “Di dalam dialog-dialog di antara para aktor di atas panggung tadi malam, sentilan-sentilan Rendra sangat tajam dan saya nilai masih sangat relevan dengan situasi negara kita saat ini,” ungkapnya.
Dari sisi durasi, Panembahan Reso versi 2020 lebih ringkas jika dibandingkan dengan versi 1986. Kala itu, pementasan berlangsung selama 7 jam. Bambang menilai meski pertunjukan tidak sepanjang dulu, intisari dalam Panembahan Reso tetap tersampaikan.
Satu kalimat dari dialog dalam pementasan tersebut pun masih melekat erat di benaknya. ‘Takhta itu ternyata bukan kursi biasa’. Menurutnya, orang bisa berubah 180 derajat begitu menduduki takhta. “Kalau tidak menjadi semakin arif, ya semakin gila, tamak, dan sewenang-wenang,” ujar Bamsoet. (Ant/KP)