JAKARTA, KABARPARLEMEN.COM- Pimpinan Komisi XI DPR mewacanakan pembubaran Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan mengembalikan fungsi pengawasan industry keuangan dari OJK ke Bank Indonesia atau Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK).
Langkah ini sebagai bentuk evaluasi kinerja OJK yang tidak maksimal menjalankan tugasnya.
Wacana tersebut disampaikan Wakil Ketua Komisi XI DPR Eriko Sotarduga dalam konferensi pers di Ruang Komisi XI DPR, Jakarta (21/1).
Eriko mengatakan, pihaknya bisa saja mengembalikan fungsi pengawasan industri keuangan dari OJK ke Bank Indonesia (BI) seperti yang terjadi pada awal mula regulator keuangan.
“Memungkinkan saja OJK dikembalikan ke BI. Di Inggris sudah terjadi, beberapa negara juga sudah terjadi, nah ini tentu harus dievaluasi (OJK),” ujarnya.
Menurutnya, pemisahan OJK dan Bank Indonesia pada tahun 2012 lalu merupakan inisiasi DPR dan pemerintah untuk mengantisipasi krisis ekonomi di Indonesia.
Namun setelah OJK menjalankan tugas selama 8 tahun, pengawasan di industri keuangan khususnya asuransi belum maksimal, sehingga menyebabkan beberapa perusahaan asuransi gagal bayar.
“Kita bicara dahulu mereka melakukan (pemisahan) itu untuk pengawasan lebih baik, ternyata hasilnya tidak maksimal,” ucapnya.
Ke depan, diharapkan pembentukan panitia kerja (Panja) pengawasan kinerja industri jasa keuangan dapat mendorong kualitas dan meningkatkan kinerja pengawasan regulator.
“Inilah yang harus kita evaluasi, makanya panja bukan sekadar itu saja, bukan hanya mengembalikan dana (nasabah) tapi jangan sampai terjadi kemudian hari,” ucapnya.
Seraya menambahkan, akan dievaluasi oleh DPR melalui panja yang akan dibentuk oleh Komisi XI DPR mengenai kinerja industri jasa keuangan.
“Teman-teman internal bicara pemisahan dilakukan untuk pengawasan yang lebih baik. Nah, ternyata hasilnya tidak maksimal. Tapi kan kami tidak bisa menyalahkan begitu,ā€¯jelasnya.
Selain itu, DPR juga sedang menyusun program legislasi nasional (prolegnas) saat ini. Ia bilang pihaknya akan memasukkan revisi Undang-Undang (UU) tentang BI dan UU tentang OJK. “Nanti kami akan mulai masuk ke perubahan UU BI dan UU OJK,” tandasnya.
Jiwasraya sedang menjadi perhatian publik. Perusahaan menunggak pembayaran klaim jatuh tempo sebesar Rp802 miliar untuk produk saving plan per Oktober 2018. Hal ini dikarenakan perusahaan mengalami masalah likuiditas.
Sementara, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengendus dugaan korupsi di Jiwasraya. Lembaga itu juga sudah menangkap lima tersangka yang tersangkut kasus dugaan korupsi di Jiwasraya.
Persoalan keuangan sebelumnya melanda AJB Bumiputera. Hal itu berawal dari 2010 lalu, di mana kemampuan AJB Bumiputera dalam memenuhi kewajibannya, baik utang jangka panjang maupun jangka pendek alias solvabilitas hanya 82 persen.
Sementara, Kejaksaan Agung (Kejagung) mengendus dugaan korupsi di Jiwasraya. Lembaga itu juga sudah menangkap lima tersangka yang tersangkut kasus dugaan korupsi di Jiwasraya.
Persoalan keuangan sebelumnya melanda AJB Bumiputera. Hal itu berawal dari 2010 lalu, di mana kemampuan AJB Bumiputera dalam memenuhi kewajibannya, baik utang jangka panjang maupun jangka pendek alias solvabilitas hanya 82 persen.
Ini artinya, AJB Bumiputera tidak bisa mematuhi amanat Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 504 Tahun 2004 tentang solvabilitas perusahaan asuransi yang mencapai 100 persen. Pada 2012 lalu, jumlah aset yang dimiliki hanya Rp12,1 triliun, tapi kewajiban perusahaan tembus Rp22,77 triliun.
Kemudian, Muamalat kini sedang mencari investor baru untuk menambah permodalan perusahaan. kinerja keuangan Bank Muamalat semakin merosot pada semester I 2019. Laba bersih perusahaan anjlok hingga 95,09 persen menjadi Rp5,08 miliar dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp103,73 miliar. (ROL/CNN/KP)
Kemudian, Muamalat kini sedang mencari investor baru untuk menambah permodalan perusahaan. kinerja keuangan Bank Muamalat semakin merosot pada semester I 2019. Laba bersih perusahaan anjlok hingga 95,09 persen menjadi Rp5,08 miliar dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp103,73 miliar. (ROL/CNN/KP)