JAKARTA, KABARPARLEMEN.COM — Ketua Panja RUU Pemeberdayaan dan Perlindingan Nelayan DPR RI, Herman Khaeron menyatakan RUU tersebut sudah masuk pembahasan di Panja pada 29 Februari 2016 ini sampai awal Maret. Dan rencananya akan disahkan pada 7 atau 8 Maret mendatang. RUU ini untuk menjamin kesejahteraan dan perlindungan bagi nelayan, pembudi daya ikan dan petambak garam.
“RUU ini lahir karena melihat para nelayan, pembudi daya ikan dan petambak garam di seluruh pesisir yang tersebar di ¾ lautan Indonesia, ternyata masih miskin. Karena itu dengan UU ini pemerintah menjamin kelangsungan nelayan. Termasuk kebutuhan, subsidi, dan jaminan untuk kesejahteraan nelayan,” kata Herman dalam forum legislasi DPR RI “RUU Pemberdayaan dan Perlindungan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam” bersama Sekjen Kementerian Kelauatan dan Perikanan (KKP) Syarif Wijaya dan Ketua Umum Persatuan Nelayan Tradisional, Riza Damanik, di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (23/2/2016).
Dalam RUU itu, kata politisi Demokrat tersebut di antaranya membahas berbagai kebijakan impor garam yang masih membanjiri Indonesia, pendidikan dan pelatihan, kemitraan usaha, pembiayaan-modal usaha, kemudahan akses dan asuransi. Karena itu pemerintah menganggarkan Rp 200 miliar untuk mengimplementasikan RUU ini. “Juga penetapan harga menjelang pasar bebas Asean (MEA),” ujarnya.
Menurut Herman, kemiskinan kultural nelayan tersebut harus diselesaikan, mengingat mereka masih terjerat dengan ijon, rente, dan sebagainya. ‘Hanya saja UU ini tidak mengatur sanksi pidana, sehingga kalaupun ada pelanggaran masalah pangan, hal itu sudah diatur dalam UU Pangan,” pungkasnya.
Syarif Wijaya menyambut positif UU ini, karena akan menjadi produk hukum sekaligus menjadi payung hukum bagi pemerintah dan berbagai pihak terkait dalam rangka menyejahterakan nelayan, petambak garam dan pembudi daya ikan. Karena itu dia meminta untuk meyakinkan nelayan–seluas 5,8 km2 lautan dan 95 km posline dan 2 juta hektar tambak–itu kalau dikelola dengan baik maka akan menjadi luar biasa dalam melindungi nelayan.
Menurut Syarif, laut tetap menjadi sumber daya ikan, lahan kerja, prasarana produksi ikan, dan sumber kekayaan nelayan. Karena itu dengan UU ini, pemerintah mendorong terwujudnya kesejahteraan nelayan. “Jadi, pemerintah menyambut positif sebagai payung hukum untuk sejahterakan nelayan,” tambahnya.
Riza Damanik menjelaskan jika 56% konsumsi ikan rakyat Indonesia kata organisasi pangan sedunia (WHO) adalah ikan. Sehingga konsumsi ikan rakyat kita melebihi rata-rata dunia. Maka kita sadari, 75 % ikan adalah dari nelayan kecil. “Jadi, usaha mnimalis, UU ini melindungi 13 juta nelayan. Kalau gagal, maka implikasinya akan menurunkan kemiskinan nelayan,” tuturnya.
Yang menarik kata Riza Damanik, dalam transisi dari pemerintahan SBY ke Jokowi, perubahan itu sendiri tak selalu direspon baik oleh nelayan. Sehingga kebijakan pemerintahan Jokowi saat ini justru menurunkan tingkat penjualan ikan nelayan. “Kebijakan nasional itu ternyata berimpliaksi kepada nasib nelayan. Karena itu, kebijakan itu harus diikuti partisipasi masyarakat nelayan,” ungkapnya.
Dulu kata Riza, pemerintahan SBY memberi bantuan jejaring, kapal, penangkap ikan dan lain-lain, tapi karena tidak diikuti partisipasi nelayan dan masyarakat, maka gagal. Padahal, pemerintahan yang baik itu kalau ada transparansi dan partisipasi masyarakat.
“Jadi, RUU ini harus mengamankan laut. Jangan sampai seperti pertanian di mana tanah pertanian makin sempit akibat digerus properti, perkantoran, hotel dan sebagainya. Apalagi, pembudi daya ikan dan petambak garam yang dulu mencapai ratusan, kini tinggal sekitar 70-an posline,” pungkasnya.