BIN tak perlu tambah kewenangan

Headline Komisi III Terkini UU Terorisme

JAKARTA, KABARPARLEMEN.COM — Anggota Komisi III DPR dari FPKB Jazilul Fawaid menegaskan kewenangan Badan Intelijen Negara (BIN) tidak perlu ditambah seperti menangkap dan menindak terduga terorisme. Yang perlu ditingkatkan adalah deteksi dininya agar tidak kecolongan seperti peristiwa bom Thamrin Jakarta pada pertengahan Januari 2016.

“Apalagi penangkapan itu dibutuhkan alat bukti yang kuat. Bukan pada tempatnya kalau BIN diberi kewenangan penangkapan tersebut. Yang perlu adalah bagaimana deteksi dini itu bisa dilakukan agar terhindar dari tindakan terorisme,” kata Sekretaris Fraksi PKB dalam diskusi pro dan kontra revisi UU Terorisme bersama Wakil Ketua DPD Farouk Muhammad dan Ketua Presidium Indonesia Police Wacth di Gedung DPR Jakarta, Selasa (16/2/2016).

Kenapa PKB dan NU selalu mengutuk tindakan terorisme. Menurut Jazil, setiap tindakan apapun bentuknya jika dengan kekerasan, anarkisme, membawa korban jiwa dan merusak serta merugikan masyarakat, bangsa, dan negara, maka PKB dan NU akan selalu menentang. “Tak ada tempat bagi anarkisme di negeri ini, karena Pancasila sebagai asas tunggal dan NKRI sebagai bentuk negara kita sudah final. Karena NU dan PKB selalu melawan jalan kekerasan atas nama apapun,” ujarnya.

Hal yang sama disampaikan Farouk Muhammad. Jika tak perlu revisi UU Terorisme tersebut jika hanya untuk memberi kewenangan penindakan dan penangkapan bagi BIN untuk menindak dan apalagi menangkap terduga terorisme. “Hanya harus diberi kelonggaran bagi aparat atau Densus 88 untuk menindak kejahatan yang luar biasa ini. Meski harus memperhatikan faktor HAM,” tambah anggota DPD dari Dapil NTB ini.

Dengan demikian, kata Farouk, yang harus dibenahi adalah operasional di lapangan agar ideologi terorisme itu tidak tumbuh subur di tengah masyarakat. Karena itu harus memperhatikan jaringan. “Dan, jangan sampai membuat blok di masyarakat bahwa yang ini mendukung dan yang itu kontra terorisme. Atau deradakalisasi, upaya menjauhkan dari pemahaman yang radikal yang dilakukan BNPT itu belum menggema ke masyarakat,” ungkapnya.

Neta S Pane juga sependapat kasus bom Tharim Jakarta, dijadikan alasan untuk merevisi UU Terorisme tersebut. Sebab, tak ada di dunia ini, BIN memiliki kewenangan penangkapan sehingga cukup dengan deteksi dini. Sedangkan BNPT bertugas membuat strategi menembus jaringan teroris sampai ke lapas, agar residivis setelah keluar dari penjara tidak kembali menjadi teroris. “Jadi, tak ada alasan revisi UU itu karena terorisme dari tahun ke tahun terus menurun,” jelas Neta.

Karena itu, kata Neta, setidaknya ada 6 hal yang harus dievaluasi dengan tindakan terorisme selama ini. Pertama, bagaimana residivis itu tidak kembali menjadi teroris. Kedua, memperbaiki program pembinaan di lapas, Ketiga, Polri harus transparan dalam penggunaan dana asing (AS, Australia, Inggris dll).

Lalu, keempat memperkuat BIN. Sebab, peristiwa penyerbuan terduga teroris di Temanggung, Jawa Tengah, beberapa waktu silam itu dengan mengerahkan 40-an pasukan Densus 88 dan ternyata hanya seorang teroris yang ada di dalam rumah. “Jadi, bukan UU-nya yang direvisi, melainkan aparatur BIN-nya yang harus dibenahi,” ungkapnya.

Kelima, pengawasan terhadap proses penindakan oleh Densus 88. “Tak boleh Densus 88 menjadi algojo dan eksekutor yang bisa membunuh siapa saja yang diduga teroris. Sebab, kalau salah, anak-anak dan keluarganya pasti akan menaruk dendam terhadap aparat. Dan, keenam adalah, pemberantasan terorisme itu jangan dijadikan sinetron,” pungkasnya merujuk pada penayangan secara langsung penyerbuan teroris di televisi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *