![]() |
Korban salah tangkap Densus 88 di Solo, Ayom Panggalih dan Nur Syawaluddin. Foto : Suara-Islam.com |
Saleh menilai kasus salah tangkap seperti itu bisa mengurangi tingkat profesionalitas Densus 88 dalam memerangi terorisme di Indonesia. Apalagi, lanjutnya, mereka yang menjadi korban salah tangkap juga mengalami tindak kekerasan fisik dan psikis.
“Kemarin ada lagi kasus salah tangkap. Dua orang warga Solo yang hendak ke mesjid ditangkap. Setelah diperiksa, ternyata mereka bukan teroris. Sangat disesalkan ketika ditangkap mereka mengalami tindak kekerasan,” kata Saleh dalam siaran pers seperti dikutip hidayatullah.com,(31/12/2015).
Politis dari Fraksi PAN ini menegaskan kasus salah tangkap yang dilakukan Densus 88 bukan yang pertama sekali. Sebelumnya sudah pernah beberapa kali terjadi kasus serupa. Walaupun sudah jelas salah tangkap, namun pihak Densus 88 atau Kepolisian RI secara kelembagaan kelihatannya belum pernah menyatakan permintaan maaf kepada korban dan juga publik.
“Pertengahan Mei tahun 2014, kasus salah tangkap juga terjadi di Solo. Ketika itu yang ditangkap adalah Kadir dari desa Banyu Harjo. Begitu juga pada akhir Juli 2013, Densus 88 juga salah menangkap dua orang warga Muhammadiyah yaitu Sapari dan Mugi Hartanto. Sementara pada akhir Desember 2012, Densus 88 juga salah tangkap terhadap 14 warga Poso. Saya kira masih ada beberapa kasus salah tangkap lainnya yang sempat menjadi perhatian publik,” jelas Saleh.
Karena itu, berkenaan dengan kasus salah tangkap ini, menurut Politisi dari Dapil Sumut II meminta Kepolisian RI setidaknya melakukan dua hal yaitu pertama, menyatakan permintaan maaf kepada korban dan keluarganya. Sebab bagaimanapun juga, korban dan keluarganya tentu merasa sangat dirugikan baik secara fisik maupun psikis.
Kedua, melakukan perbaikan dalam prosedur penangkapan terduga teroris. Di mana informasi intelejen yang diberikan kepada Densus 88 harus benar-benar valid dan dapat dipertanggung jawabkan. Dengan demikian, Densus 88 sebagai eksekutornya tidak lagi melakukan kesalahan seperti itu.
“Kita memahami bahwa terorisme sangat mengancam eksistensi NKRI. Namun demikian, penanganannya harus betul-betul cermat dan hati-hati. Dengan begitu, prestasi-prestasi yang dimiliki kepolisian dan khususnya Densus 88 tidak ternodai,” ujar Saleh.
Sebelumnya, Ayom Penggalih dan Nur
Syawaludin yang ditangkap Densus 88 di jalan Haryo Panular, RT 002 RW
006, Kelurahan Panularan, Laweyan, Solo, Jawa Tengah akhirnya dilepaskan
setelah menjalani pemeriksaan di Mapolsek Laweyan.
Alasannya, keduanya tidak terbukti
berhubungan dengan Hamzah dan AND, dua terduga teroris lainnya yang
sebelumnya telah dibekuk tim Densus 88. Namun sangat disayangkan pihak
Densus tidak minta maaf.
Padahal, seperti disampaikan dalam
konfrensi pers yang digelar Islamic Studies and Action Center (ISAC) di
Solo, Jawa Tengah, Rabu (30/12) seperti dikutip dari Suara-Islam.com, keduanya sempat mengalami
siksaan saat ditangkap. Termasuk saat keduanya berada di dalam kendaraan
yang membawanya ke Mapolsek Laweyan. Bahkan keduanya tak diizinkan
untuk salat. Selain tak diizinkan untuk salat, Nur mengaku dirinya
dengan rasa sakit luar biasa memutar borgol yang mengikat tangannya ke
arah depan, agar bisa buang air kecil. (Hidayatullah/SuaraIslam).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar