JAKARTA, KABARPARLEMEN.COM – Setya Novanto resmi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua DPR RI periode 2014-2019, semalam. Surat pengunduran diri diterima langsung Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) Sufmi Dasco Ahmad. Dan, politisi Gerindra itu pula yang membacakan isi surat Novanto di depan rapat internal MKD yang terbuka untuk wartawan.
Beberapa menit setelah Novanto resmi mengundurkan diri, kegaduhan baru mulai ditabuh. Politisi dan kelompok yang haus kekuasaan mulai menabuh genderang untuk saling sikut baik di antara internal dan antarpartai untuk memperebutkan singgasana panas yang ditinggalkan Novanto.
Partai Golkar, jelas bila merujuk pada UU MD3 (MPR, DPR, DPD, DPRD) yang paling berhak untuk menempatkan orangnya sebagai Ketua DPR. Namun, PDI Perjuangan yang kelihatannya malu-malu kucing juga sepertinya sangat ingin untuk menempati kursi Pimpinan DPR.
Apalagi dalam proses pemilihan sebelumnya, PDI Perjuangan merasa didzalimi karena partai pemenang pemilu yang layaknya mendapatkan kursi Ketua DPR tetapi karena partai kepala banteng ini selalu kaku dalam lobi-lobi tingkat tinggi, terpaksa harus gigit jari dan menjadi penonton.
Sejak awal, Puan Maharini, disebut-sebut dan digadang-gadung untuk menjadi Ketua DPR. Konon, jabatan Puan sebagai Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayan dalam Kabinet Kerja hanya sementara alias magang.
Tapi untuk menempatkan Puan sebagai Ketua DPR, PDI Perjuangan tentu harus bekerja ekstra keras dan harus luwes dalam lobi-lobi tingkat tinggi. Bila PDI Perjuangan tetap kaku dalam berpolitik, jabatan Ketua DPR hanya mimpi. Sebab untuk menjadikan Puan menjadi Ketua DPR, PDI Perjuangan harus mengajak kelompoknya di Senayan untuk merevisi UU MD3.
Salah-salah, revisi ini bukan malah akan memuluskan PDI Perjuangan untuk mendapatkan kursi Pimpinan DPR, bisa jadi malah akan membuat kegaduhan baru dan biaya ekonomi, sosial dan politiknya semakin mahal. Dan korbannya adalah rakyat bukan elite politik.
Jangan juga disepelekan, revisi UU MD3 juga mau tidak mau harus melibatkan DPD. Di sisi lain DPD juga sejatinya bukan perwakilan daerah. Dalam gen mereka juga mengalir darah partisan partai politik. Di sisi lain DPD juga memiliki agenda lain yang lebih besar yaitu amendemen kelima UUD 1945.
Jelas, dibandingkan PDI Perjuangan, kader mumpuni yang hebat dan berpengalaman lebih banyak di Partai Golkar. Sejumlah nama-nama digadang-gadang layak untuk menggantikan Novanto di antaranya, Titiek Soeharto, Ade Komarudin, Fadel Muhammad, Agun Gunandjar Sudarsa dan Airlangga Hartarto.
Dalam beberapa hari ke depan intrik politik di Partai Golkar bakal kian panas. Jabatan Ketua DPR kendati cuma speaker tetapi sangat strategis. Tentu sejumlah anggota DPR dan juga partai politik sangat ingin menempatkan orangnya sebagai Ketua DPR. Jabatan ini sangat penting ketika rapat-rapat genting sekelas rapat paripurna yang membutuhkan seni dalam memoderasi jalannya rapat sehingga kepentingan politik kelompok atau golongannya tercapai.
Tetapi yang perlu dicatat, pengunduran Novanto di-injury time seolah mengesankan bekas Bendahara Umum Partai Golkar ini kalah telak. Bahkan harian Kompas dengan sombongnya menulis headline berjudul: Kemenangan Suara Rakyat. Padahal, dengan keputusan MKD yang tak melanjutkan rapat dan tidak mengambil kesimpulan itu dengan gamblang menjelaskan bahwa Novanto berarti tidak melanggar etik!
Hebat!