Ketua DPR Setya Novanto |
JAKARTA, KABARPARLEMEN.COM- Sudah satu bulan publik disuguhkan berita tentang hiruk pikuk antara Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, Direktur Freeport Maroef Sjamsoddin dan Ketua DPR Setya Novanto. Awal kasus ini bermula tatkala Sudirman menyatakan bahwa ada tokoh partai politik di negeri ini yang mencatut nama Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.Pernyatan itu disampaikan dalam sebuah wawancara dengan satu stasiun televisi.
Rasa penasaran publik mencuat dan meminta agar Sudirman menyebut siapa tokoh partai politik tersebut. Dan seperti mendapat dorongan kuat, Sudirman pun kemudian melapor ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) agar menelesuri pelanggaran etika oleh tokoh politik tersebut, yang kemudian diketahui bernama Setya Novanto yang tak lain Ketua DPR.
Sudirman melapor dengan membawa bukti rekaman percakapan antara Setya Novanto, pengusaha Muhammad Riza Chalid dan Maroef Sjamsoeddin. Rekaman pun dibuka ke publik, dan terbukalah banyak hal. Termasuk dana kampanye dan sikap presiden atas gagalnya calon Kapolri Budi Gunawan.
Pada saat yang bersamaan Kejaksaan Agung mulai mengusut kasus ini dengan pasal pemufakatan jahat. Meski sidang di MKD belum kelar. Tapi “bola” mulai menggelinding ke mana-mana. Tuntutan turunnya Setya Novanto dari kursi Ketua DPR menguat. Isu kongkalikong Sudirman Said, Maroef dan Jaksa Agung Prasetyo pun mulai muncul. Di sisi lain, nasib perpanjangan kontrak freeport menjadi tanda tanya. Maroef sudah menyatakan dengan nada mengancam bahwa apabila kontrak karya Freeport tidak diperpanjang, maka akan terjadi konflik di antara masyarakat Papua sendiri. “Mungkin yang terjadi klaim antar suku,”kata Maroef.
Obrolan warung kopi sebenarnya lebih seru lagi. Isu-isu bermunculan, mulai dari akan selesai dengan pertemuan para petinggi partai politik. Ada yang bilang, baik Novanto maupun Sudirman akan lengser dari kursinya. Ada pula yang mengatakan kocok ulang pimpinan DPR, yang berarti lima pimpinan DPR sekarang harus turun semua dan dipilih pimpinan yang baru.
Tidak ada yang bisa memastikan, bagaimana kasus ini akan berakhir? Apakah Novanto benar-benar turun dari kursinya setelah MKD memutuskan telah terjadi pelanggaran berat? Ataukah dia tetap bertahan dengan segala dramanya?
Harus diingat, Novanto tidak berdiri sendiri. Di belakangnya ada Partai Golkar tempat dia berkiprah dan sejumlah partai Koalisi Merah Putih (KMP). Sebagai “lawan” tentu saja ada individu dan partai politik yang menginginkan dia segera turun. Turun atau bertahan, dalam tradisi perpolitikan di Indonesia, tidak selalu soal benar atau salah. Bisa saja soal kekuasaan dan uang. Yang menginginkan Novanto turun akan mendapatkan berkah kekuasaan politik dan juga keuntungan materi. Tapi yang menginginkan Novanto bertahan pun, akan mendapat keuntungan yang sama. Jadi, kita pilih yang mana?(Iman Firdaus)