JAKARTA, KABARPARLEMEN.COM — Anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI Andi Agtas mengigatkan masyarakat untuk mencermati gonjang-ganjing PT. Freeport Indonesia dari substansinya. Apa yang dilakukan Menteri ESDM Sudirman Said (SS) dengan melakukan perpanjangan kontrak pada tahun 2015 itulah sebenarnya yang harus dikritisi. Perpanjangan kontrak bisa dilakukan dua tahun sebelum kontrak lama habis pada 2019.
“Sebesar apapun kekuatan DPR termasuk regulasi yang dibuat, keputusan itu tetap ada pada pemerintah dan perpanjangan itu merupakan tindakan pidana yang harus diusut tuntas. Seperti kata Menko Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli, percepatan itu melanggar UU Minerba,” kata Supratman dalam diskusi ‘Freeport Gate’ bersama pengamat politik dari Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhie Massardi dan Direktur Eksekutif INDEF Enny Sri Hartati di Kompleks Parlemen Jakarta, Kamis (26/11/2015).
Sebagai pembantu presiden, kata Supratman, SS seharusnya meminta izin Presiden Jokowi sebelum melaporkan kasus rekaman yang membawa-bawa nama Ketua DPR Setya Novanto. “Beliau itu pembantu presiden, kalau itu tidak dilakukan, maka tidak bisa diproses dan inilah yang dimaksud MKD sebagai legal standing itu,” kata politisi Gerindra ini.
Pada prinsipnya, kata Supratman, siapa pun yang bermain untuk perpanjangan izin Freeport harus diusut tuntas. Namun, bukan dengan menutup isu dengan membuka isu yang baru. “Freeport itu harus mensejahterakan rakyat, khususnya rakyat Papua. Bahwa kita tidak anti asing, tapi asing harus mengikuti aturan yang ada di negara ini,” tambahnya.
Menurut Supratman, penerimaan negara dari Freeport selama ini hanya 7 – 8 miliar dollar AS, tapi pemerintah setiap tahunnya harus menggelontorkan dana Otsus Papua sebesar Rp 35 triliun. Itu jelas tidak berimbang. “Karena itu kasus perpanjangan izin Freeport itu harus dikawal,” ujarnya.
Adhie bercerita, Freeport ini sejak masa pemerintahan Gus Dur sudah main ancam dan gertak. Tapi Gus Dur balik mengancam sehingga melalui Menko Perekonomian Rizal Ramli waktu itu, pemerintah melakukan renegosiasi. Indoensia tak akan menggadaikan nasib Papua kepada asing karena kontrak sebelumnya penuh penyimpangan dan KKN.
“Indonesia dibohongi terus oleh Freeport. Namun, Amerika tersinggung, sampai akhirnya Gus Dur dijatuhkan melalui sidang istimewa MPR pada Juli 2001,” jelasnya.
Karena itu, kata Adhie, perilaku MKD akan tergantung kepada Fraksi Demokrat. Kalau ngotot membela Freeport, berarti ketika pemerintahan SBY ada deal untuk tidak membangun smelter di Papua. “Jadi, perpanjangan kontrak oleh SS itu menjadi tahap awal untuk menyelidiki kasus Freeport dengan menyalahgunakan jabatan untuk memperkaya diri atau orang lain,” tambahnya.
Adhie juga menunuding, gerombolan Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) yang pro-Freeport kini sudah masuk ke lingkaran Istana. Lihat saja Teten Masduki yang mengatakan tanpa Freeport, Indonesia akan collaps, bangkrut. Padahal Negara hanya mendapatkan 7 – 8 miliar dollar AS, berarti Teten Masduki dan kelompoknya mendukung Freeport.
“Jadi, SS itu hanya membuat sensasi saja seolah-olah ada rekaman karena secara eksplisit dalam rekaman itu tak ada perkataan permintaan saham. Mungkin sensasi itu karena SS menolak untuk di-reshuffle,” tegasnya.
Menurut Adhie, politik di DPR saat ini membuktikan belum selesainya keriuahan Pilpres 2014. MKD juga dituduh tergesa-gesa untuk menyidangkan Setya Novanto. “Kita harus sadar bahwa Freeport itu besar sehingga jangan terfokus kepada Setya Novanto karena jangan-jangan akibat DPR tolak perpanjangan lalu Freeport menggunakan isu lain untuk menggempur DPR,” ungkapnya.
Adhie berharap keputusan MKD nantinya ada tiga rekomendasi. Pertama, untuk internal DPR RI sendiri kalau terbukti melanggar etika harus ada sanksinya dan kalau tidak melanggar etika juga demikian. Kedua, rekomendasi untuk pemerintah bahwa Freeport melanggar hukum, apalagi diduga ada penyuapan dalam perpanjangan kontrak. Ketiga, rekomendasi untuk Presiden AS Barack Obama. Katakan bahwa perusahaan Anda telah melakukan pelanggaran-pelanggaran. Terbukti sahamnya turun di pasar dunia.
Selain itu kata Adhie, Indonesia bisa membawa kasus itu ke arbitrase internasional, kalau terbukti Freeport bisa disetop, dihentikan. Namun demikian dia khawatir dalam siding di MKD nanti ada kemungkinan intervensi dari berbagai pihak; yaitu Setya Novanto, pemerintah, dan Freeport sendiri.
Enny menegaskan jika Freeport harus mengikuti aturan yang ada di Indonesia. Karena prsayarat investasi pertambangan siapapun harus membangun smelter dan kalau menolak harus keluar dari Negara ini. “Juga kasus Setya Novanto dan SS, semua harus diproses sesuai mekanisme hokum. Jangan hanya hiruk-pikuk politik di media, karena hal itu justru merugikan NKRI dan rakyat. Jangan sampai dengan hiruk-pikuk itu, justru Freeport mengambil keuntungan,” katanya.
Enny menambahkan Freeport tidak hanya bermasalah di Indonesia melainkan juga di seluruh dunia. Dan di Indonesia memang yang terbesar. “Sehingga begitu ada kasus, sahamnya pasti langsung rontok. Ditambah lagi transkripnya beredar luas dan tidak terkontrol, maka sangat berpengaruh bagi saham Freeport,” ujarnya.