JAKARTA, KABARPARLEMEN.COM — Proses penegakan hukum dan konstitusi adalah persoalan sangat serius. Karena itu, Menteri ESDM Sudirman Said (SS) bisa dituntut balik akibat menyebarkan rekaman tanpa izin dalam kasus pertemuan Ketua DPR Setya Novanto dan petinggi Pt Freeport Indonesia. Menurut Asep, selain menyangkut Setya Novanto, persoalan lain adalah proses penegakan hukum, demokrasi dan masalah konstitusional utamanya terkait pasal 33 UUD 45.
“Ini terlepas dari perhatian masyarakat yang hanya fokus pada Ketua DPR RI,” kata pakar hukum tata negara dari Universitas Parahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf, kepada wartawan, Jumat (20/11)
Menurut Asep, proses pengambilan rekaman tanpa seizin yang bersangkutan dan kemudian disebarkan juga tanpa izin, adalah proses pelanggaran hukum. Terlepas dari kebenaran isi rekaman tersebut jika hal ini bisa digunakan sebagai bukti hukum, maka bukan tidak mungkin masyarakat juga bisa dijebak dengan yurisprudensi pada kasus ini.
“Yang namanya merekam apalagi sampai menyebarkan ini harus seizin yang bersangkutan. Kalau pengusaha saja bisa menjebak seorang pimpinan lembaga tinggi negara seperti ini, bisa dibayangangkan, jika penguasa melakukan hal seperti ini pada rakyatnya? Maka dampak itu yang harus dipikirkan,” kata Asep.
Nantinya, rakyat bakal takut berbicara dan mengkritik penguasa karena khawatir setiap pembicaraannya bisa direkam oleh siapapun untuk dilakukan proses hukum pada dirinya.
”Jika ada yang bicara jelek tentang penguasa dan kemudian ada yang melaporkan, kemudian orang tersebut ditindak atas dugaan pencemaran nama baik atau perbuatan tidak menyenangkan, maka akan merepotkan rakyat,” tambah Asep.
Karena itu, proses penegakan hukum, kata Asep, harus dilakukan sesuai dengan hukum. Penegakan hukum tanpa menggunakan aturan hukum bakal menyebabkan kesewenang-wenangan.
“Ini seharusnya juga diperhatikan, penegakan hukum tidak bisa dilakukan dengan melanggar hukum,” jelas Asep.
Hal itu yang disadari oleh pemerintah sehingga hanya melaporkan Setya Novanto ke MKD DPR, tanpa melaporkan ke aparat penegak hukum. “Pemerintah nampaknya sadar bahwa jika hal ini dilaporkan ke aparat hukum, maka Setya Novanto bisa menuntut balik karena bagaimanapun rekaman ini tidak bisa dijadikan bukti hukum,” kata Asep.
Karena jika bukti didapatkan tidak melalui proses hukum yang benar, kata Asep, pengadilan pun bisa menolak dan membatalkan bukti yang diajukan. Bahkan bukan tidak mungkin pihak yang digugat bisa menuntut balik.
“Saya melihat pemerintah pun enggan melaporkan ke aparat hukum dan hanya melaporkan ke MKD DPR sehingga Menkopolhukam pun buru-buru mengatakan bahwa presiden tidak akan memperpanjang dan melaporkan kasus ini,” ujar Guru Besar Hukum Tata Negara itu.
Asep membandingkan kasus rekaman video artis Ariel Peterpan dengan beberapa wanita. Ariel dikenakan hukuman karena merekam tanpa izin dan penyebaranya juga dikenakan hukuman.
”Yang wanitanya kan tidak dikenakan hukuman. Masalah bahwa para wanita tersebut melanggar hukum agama atau hukum pernikahan kan tidak diadili. Kalau pidananya adalah asusila, maka semua wanita yang terlibat juga harus diadili saat itu. Ini nampaknya yang dikhawatirkan oleh si pelapor, merekam dan menyebarkan tanpa izin.”
Untuk laporan ke MKD itu sangat tergantung pada DPR sebagai lembaga. Proses yang terjadi di DPR itu adalah proses politik dan bukan proses hukum pidana umum, sehingga bisa saja meski ada bukti-bukti yang kuat, legislatif memutuskan Novanto tidak bersalah, seperti pada kasus Bill Clinton.
“Seperti pada kasus Bill Clinton dan Monica Lewensky, meski terbukti ada tindakan asusila dan terbukti bahwa Bill Clinton berbohong, senat AS memutuskan bahwa Clinton tidak bersalah dan proses pengadilan impeachtment pun gagal.”
Jadi, kata dia, berkaca pada kasus ini justru yang kena dampak hukumnya adalah Menteri ESDM Sudirman Said. Sedangkan Setya Novanto bisa bebas.
Selain itu, kasus ini juga kembali membuka mata rakyat Indonesia, bahwa banyak yang tidak beres dengan PT Freeport Indonesia selama menjalankan operasinya di Indonesia. Bukan hanya persoalan pembagian yang tidak adil bagi Indonesia, juga ada banyak hal lain yang selama ini melanggar hukum dan didiamkan oleh negara.
“Utamanya pelanggaran UUD pasal 33 dimana disebutkan bahwa bumi air dan semua yang terkandung di dalamnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sekarang yang dapat besar rakyat apa PT Freeport? Kalau Freeport yang mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari rakyat, itu jelas pelanggaran konstitusi,” demikian Asep.
Dengan demikian, kasus ini seharusnya juga membuka mata rakyat Indonesia bahwa izin Freeport di Indonesia juga tidak boleh diperpanjang lagi dan kalau perlu izin yang sudah ada dibatalkan. Kasus ini sekaligus juga menjadi bukti bahwa Freeport melakukan berbagai cara termasuk dengan melakukan lobi-lobi selama ini.
”Jadi jangan hanya melihat Novanto-nya, tapi juga harus melihat Freeportnya. Jangan-jangan negosiasi-negosiasi seperti ini sudah sering mereka lakukan sebelumnya. Masyarakat juga harus melihat pelanggaran-pelanggaran Freeport di Indonesia. Kalau bisa dibuktikan PT Freeport selama ini melanggar aturan hukum yang berlaku di Indonesia, maka kontrak bisa dibatalkan,” pungkasnya.