JAKARTA, KABARPARLEMEN.COM – Ketua Lembaga Pengkajian MPR RI Rully Chairul Azwar mengatakan tahun 2015 ini merupakan satu dasawarsa digelarnya Pilkada dan setelahnya perlu ada evaluasi. Semua menginginkan Pemilu menghasilkan pimpinan yang diharapkan rakyat dan berpihak kepada kepentingan rakyat tetapi faktanya, Pilkada langsung itu lebih banyak mudharatnya atau kerusakannya.
“Pasal 18 UUD NRI 1945 mengatakan bahwa Pilkada dipilih secara demokratis sedangkan Pilpres dipilih secara langsung. Diakui dalam era reformasi ini ada semangat untuk melaksanakan demokrasi secara terbuka. Itulah yang menjadi penyebab Pilkada akhirnya juga dilakukan secara langsung dengan asumsi kalau dipilih oleh orang banyak akan lebih baik,” kata politisi Golkar itu membuka acara bedah buku ‘Pilkada: Penuh Euforia Miskin Makna’ pada Kamis (19/11/2015) di Gedung MPR RI Jakarta. Buku tersebut karya Rahmat Hollyson dan Sri Sundari itu.
Menurut Rully, Pilkada dilakukan sejak tahun 2005. Dalam rentang waktu tahun 2005-2009 terjadi 350-an Pilkada. “Setiap minggu bahkan setiap hari ada Pilkada sehingga seperti tak ada hari tanpa Pilkada. Dari Pilkada ditambah dengan Pileg dan Pilpres, sehingga menjadi tontonan rakyat yang menarik. Dari sini lalu muncul konsultan-konsultan politik, usaha percetakan kaos, spanduk, dan atribut kampanye lainnya, maka Pilkada menciptakan lapangan kerja,” ujarnya.
Diakui Rully, pada lima tahun pertama, Pilkada itu belum ada masalah, tapi pada tahun 2007 mulai ada yang mengeluhkan soal Pilkada. Sehingga pada tahun 2014 ada evaluasi terhadap Pilkada. “Evaluasi terjadi karena dalam Pilkada ada jargon nomer piro wani piro (NPWP). Rakyat pun memilih calon kepala daerah karena uang. Money politics itulah yang menjadikan kepala daerah yang terpilih, dia akan lupa terhadap janjinya untuk membangun dan mensejahterakan rakyat,” tambahnya.
Pada masa akhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan atas persetujuan Presiden dan DPR, sempat muncul wacana mengembalikan Pilkada melalui DPRD. “Namun karena SBY tak tahan dikritik maka dirinya mengeluarkan Perppu Pilkada langsung,” ujarnya.
Nah, dalam buku ini kata Rully, disajikan fakta-fakta Pilkada. Tak ada sistem yang jelek, di mana sistem yang baik adalah bila diterapkan pada masa dan waktu yang tepat. “Kini kondisi ekonomi dan pendidikan masyarakat masih rendah. Pendapatan perkapita masih rendah dan pendidikannya masih lulusan SD dan atau SMP. Hal inilah yang membuat kualitas demokrasi dan Pilkada masih buruk. Faktor ekonomi dan pendidikan yang masih belum menggembirakan membuat Pilkada bersifat transaksional,” kata Rully.
Menurut Rully, kini bangsa ini masih dalam transisi. Untuk itu masa transisi ini perlu dikawal jangan sampai ekses money politics akan merusak demokrasi. “Dan, buku ini mengingatkan kepada kita untuk me-review kembali Pilkada dengan fakta-fakta yang buruk tersebut,” pungkasnya.