JAKARTA, KABARPARLEMEN.COM – Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PDIP Effendi Simbolon menegaskan konflik Freeport yang menyeret nama Ketua DPR RI Setya Novanto, Muhammad Reza dan Ma’ruf Syamsuddin, adalah pertarungan para mafia besar dan itu bukan sinetron.
Apalagi, Menteri ESDM Sudirman Said (SS) tiba-tiba datang ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR, yang seharusnya itu tidak dilakukan karena sesama lembaga Negara. Lalu, Menkopolhukam Luhut B. Panjaitan menegaskan tak ada perpanjangan kontrak Freeport. Ada apa?
“Padahal, SS sebelumnya sudah melakukan perpanjangan kontrak, itu untuk siapa? Jadi, kasus Freeport sebagai kelanjutan dari dipecatnya Ari Soemarno sebagai Dirut Pertamina oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ari adalah kakak kandung Menteri BUMN Rini Soemarno, yang notabene neolib-kapitalis. Jadi, saya harap Pak Rizal Ramli terus berkomitmen melawan neolib itu dan jangan sampai menjadi penikmat kekuasaan,” kata Effendi Simbolon pada diskusi “Membaca Arah Reshuffle Kabinet Jilid II” bersama anggota FPKB DPR RI Daniel Djohan, Jubir Panziazimat Institute (PI) Lalu Hilman dan Ketua ProDem Bob Randilawe di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (19/11/2015).
Menurut Effendi, selama setahun menjabat SS telah menanam dua bom besar yaitu audit forensik Petral dan perpanjangan kontrak Freeport. Untuk Freeport katanya, yang menjadi sasaran tembak bukan Setya Novanto, tapi Muhammad Reza. Sedangkan politisi Golkar itu hanya menjadi titik lontar, agar beritanya lebih menarik dan mendapat respons media yang besar.
“Kalau ada pelanggaran etik atau pidana yang dilakukan oleh Setya Novanto, itu kan bukan urusannya SS. Bahwa dulu Ari Soemarno dan Muhammad Reza itu satu geng, yang kemudian pecah kongsi. Tapi, ada orang kuat lagi di belakang Rini dan Ari Soemarno itu,” ujarnya.
Karena itu kata Effendi, kasus Ari dan Rini Soemarno dengan Muhammad Reza itu sebagai pertarungan luar biasa dan lebih kejam dari G 30 S. Kalau Setya Novanto, dia orangnya memang lugu, sederhana, dan ngantuk-ngantuk sehingga kalau berbicara panjang bisa lupa. “Jadi, orang seperti Setya Novanto inilah yang dijadikan titik lontar oleh Rini Soemarno. Maka Presiden Jokowi harus bisa mengelola kasus ini, kalau tidak bisa senjata makan tuan,” tambahnya.
SS, lanjut Effendi, tidak bisa seenaknya ke DPR RI karena sesama lembaga Negara tidak ada mekanismenya. Anehnya menurut Effendi, MKD menerima dan menjadikan MKD sebagai panggung untuk media. “Tak bisa menteri SS ujug-ujug melaporkan anggota DPR RI. Kalau ini dibiarkan, maka akan sangat mengerikan, sehingga DPR RI harus melawan,” ungkapnya.
Dengan demikian Effendi Simbolon menyarankan agar Presiden Jokowi tidak membiarkan ‘benalu-benalu’ itu menggerogoti pemerintahannya, sehingga ‘benalu-benalu’ itu harus dipangkas. Sebab, kalau tidak, Presiden Jokowi sendiri yang akan ‘mati’. “Seperti pohon kalau banyak benalunya pasti akan mati,” pungkasnya.
Daniel Djohan mendukung jika dilakukan reshuffle kabinet untuk memperkuat Trisakti dan nawacita pemerintahan. Kalau tidak, maka Presiden Jokowi akan menggali kegagalannya sendiri. “Kalau menterinya tidak paham semangat Nawacita, maka Indonesia tak akan berdaulat. Sehingga reshuffle juga harus memperkuat stabilitas politik agar bisa mewujudkan program pembangunan daripada kisruh terus-menerus,” jelasnya.
Selain itu kata Daniel, kinerja pemerintahan itu tidak berdasarkan polling atau survei karena hal itu bisa menyesatkan. Karena itu, kalau terjadi reshuffle kabinet FPKB mendukung selama untuk memperkuat stabilitas ekonomi dan politik. “Khusus untuk Freeport, FPKB akan mengusulkan dibentuknya Pansus Freeport dan itu perlu dukungan Komisi VII DPR dan Komisi III DPR RI, agar Freeport dan Pelindo II kembali ke Negara 100% untuk mensejahterakan rakyat,” tuturnya.
Sementara itu Lalu Hilman meminta agar Presiden Jokowi melakukan reshuffle terhadap Sudirman Said, Rini Soemarno, Menteri Koperasi dan UKM Puspa Yoga karena ketiganya itu liberal, kapitalis, neolib dan bertentangan dengan Trisakti dan Nawacita Presiden Jokowi. Juga mencopot Kejagung HM Prasetyo, yang terindikasi terlibat kasus Patrice Rio Capella dalam kasus suap Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho.
“Saat ini kubu neolib-kapitalis lebih besar daripada nasionalis, sehingga harus dilakukan reshuffle,” katanya.