Jalan Tol Palimanan (sumber Jokowinomics.com) |
JAKARTA, KABARPARLEMEN.COM-Kenaikan tarif tol di 15 ruas yang efektif berlaku sejak 1 November lalu, masih menimbulkan pro dan kontra. Sebagian berpandangan tidak layak dinaikkan karena pelayanan jalan tol belum memenuhi standar layanan minimum. Bahkan, sebagian anggota DPR banyak yang keberatan dan akan memanggil jajaran direksi PT Jasa Marga.
Namun, kenaikan tarif tol ini sebenarnya merupakan amanat dari Undang-undang nomor 38 tahun 2004 tentang Jalan, khususnya Pasal 48. Yang intinya, evaluasi dan penyesuaian tarif tol dilakukan setiap dua tahun sekali berdasarkan pengaruh inflasi.Evaluasi dan penyesuaian tersebut dilakukan oleh Badan Usaha Jalan Tol (BUJT).
Karena itu, menurut Direktur Centre for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi, yang pantas dilakukan oleh DPR saat ini adalah merevisi Undang-undang tentang Jalan tersebut, bukan hanya memanggil jajarana direksi PT Jasa Marga.”Tidak usah pura-pura simpati atau pro rakyat dengan menyatakan PT Jasa Marga untuk mengkaji kenaikan tarif tol. Lebih baik dengan tegas merevisi atau menghapus pasal 48,” kata Uchok, dalam rilis yang diterima Kabarparlemen.com, Kamis (5/11).
Menurut Uchok, terasa janggal sebuah undang-undang dijadikan alasan bagi perusahaan jalan tol untuk memaksa rakyat menanggung beban ekonomi tambahan. “Sementara sebuah undang-undang itu punya prinsip netral dan berpihak kepada kepentingan rakyat,” tambahnya.
Kepada Presiden Jokowi, Uchok juga meminta agar melakukan intervensi membatalkan kenaikan tarif tol tersebut. “Jangan sampai pemerintah dan negara dibajak oleh kepentingan pengusaha agar bisa memalak uang rakyat. Akibatnya yang menikmati Nawaciti hanya pengusaha jalan tol saja,” katanya.
Kenaikan tarif tol di 15 ruas sudah terjadi sejak 1 November lalu, dengan kisaran antara Rp500-Rp2500. Kenaikan ini dinilai sewenang-wenang (Iman Firdaus)