Demo perlindungan buruh migrant Indonesia (sumber: segala berita.com)
JAKARTA, KABARPARLEMEN.COM-Genap satu tahun pemerintahan Jokowi-JK memimpin Indonesia. Namun dalam isu ketenagakerjaan khususnya buruh migran, Pemerintahan Jokowi -Jusuf Kalla masih belum memberikan perhatian sebagaimana mestinya. Demikian disampaikan Migrant Institute dalam rilis yang diterima Kabarparlemen, Minggu (25/10). Migrant Institute memberi catatan, data BNP2TKI tercatat tahun 2015 hingga bulan September telah ada 212.579 buruh migran yang berangkat ke luar negeri. Dari jumlah itu mayoritas buruh migran (60%) masih di dominasi oleh buruh migran perempuan. Sedangkan buruh migran dengan latar belakang pendidikan SD-SMP tercatat masih sangat mendominasi dengan angka 72% dari total seluruh buruh migran yang tercatat oleh BNP2TKI. Ironisnya angka buruh migran yang bermasalah cukup tinggi yakni 14.602 masalah.
Direktur Migrant Institute, Adi Candra Utama mengungkapkan, dalam jangka waktu satu tahun tentu ada beberapa hal yang layak diapresiasi namun ada juga banyak hal yang pantas dikritisi dan menjadi catatan merah. “Permasalahan mendasar yang akhirnya menyeret buruh migran dalam jurang ekploitasi sejauh ini banyak yang belum tersentuh. Pun keluarga buruh migran yang rentan belum menjadi prioritas pemerintah untuk mendapatkan perlindungan”, ungkap Adi Candra Utama.
Ada beberapa hal yan menjadi catatan merah. Seperti belum terealisasinya reformasi cost structure (biaya yang dibayarkan buruh migran untuk berangkat ke luar negeri) yang menjadi janji Jokowi melalui Nusron Wahid (Kepala BNP2TKI) di akhir tahun 2014. Cost structure yang tinggi membebani buruh migran yang akan berangkat, belum lagi pungutan yang dibebankan sebagai imbal jasa calo/ sponsor maupun PPTKIS secara ilegal. Hal tersebut mendorong buruh migran pada jeratan utang dan siklus migrasi yang tiada henti. Kedua, belum adanya langkah yang progresif untuk menciptakan sistem penanganan terhadap buruh migran yang bermasalah baik di negara penempatan maupun daerah asal. Hal tersebut menyebabkan buruh migran sangat rentan dan minim perlindungan dari negara.
Adi Candra menambahkan, hingga hari ini Jokowi dan pemerintahnya belum serius untuk menciptakan skema perbaikan strategis jangka menengah dan panjang untuk buruh migran. Langkah antsipasi kebijakan dari pemerintah hingga sekarang masih terkesan responsif dan jangka pendek. Sebutlah sidak ke PPTKIS yang minim tindak lanjut, pemulangan buruh migran yang tidak berdokumen namun tidak disertai strategi pendampingan.
Padahal, dalam dokumen nawacita, halaman 23 sangat jelas empat poin visi Jokowi mengenai buruh migran. pertama, pembatasan dan pengawasan peranswasta. Kedua, penghapusan praktek diskrimatifterhadap buruh migran terutamaburuh migran perempuan. Ketiga, penyediaan layanan publik yangmudah, murah, dan aman bagi buruhmigran sejak rekrutiment, selama diluar negeri hingga pulang kembalike Indonesia. Keempat, penyediaan bantuan hukum secaracuma-cuma bagi buruh migranyang berhadapan dengan masalahhukum. Dan kelima harmonisasi konvensi internasional1990 tentang perlindungan hak-hakburuh migran dan anggota keluarganyake dalam seluruh kebijakan terkaitmigrasi tenaga kerja.
Untuk itu pemerintah saat ini perlu bekerja lebih keras dan serius untuk memperbaiki tata kelola buruh migran. Pertama, Jokowi harus menindaklanjuti kondisi birokrasi yang minim koordinasi. Tidak terlaksananya kebijakan untuk menurunkan cost structure diakibatkan kegagalan BNP2TKI dan Kementrian Ketenagakerjaan dalam berkoordinasi. Kedua, Pemerintah perlu membuat langkah perbaikan tata kelola buruh migra yang strategis dan berjangka panjang. Strategi itu juga perlu menempatkan keluarga buruh migran (anak, suami/ istri, pengasuh anak) sebagai subjek yang perlu untuk dilindungi. Ketiga, Pemerintah perlu serius untuk terus mendorong revisi UU 39 tahun 2004 agar segera sampai pada tahap pembahasan yang serius dan konstruktif. Substansi revisi juga harus mengadopsi konvensi PBB 1990 mengenai perlindungan hak-hak buruh migran dan anggota keluarganya yang telah diratifikasi.
Hingga hari ini nasib buruh migran masih menjadi kelompok yang sangat rentan. Pemerintah perlu melakukan tindakan yang cepat dan tepat. Langkah pemerintah untuk menutup total pengiriman buruh migran sektor domestik tahun 2017 nanti juga minim langkah afirmatif. Komposisi buruh migran yang 73% nya memiliki latar belakang pendidikan SD-SMP bisa menjadi bom waktu pengangguran yang sistemik apabila pemerintah masih bersikukuh menghentikan pengiriman bruuh migran sektor domestik tanpa exit strategy yang tepat.(Iman Firdaus)