Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Foto :dok JPNN |
JAKARTA, KABARPARLEMEN.COM- Setahun sudah Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memimpin Indonesia, namun menurut penilaian sejumlah lembaga termasuk anggota DPR RI, pemerintah yang didukung oleh Kabinet Kerja belum mampu menunjukkan kinerja sesuai Tri Sakti dan Nawa Cita.
Bisa dikatakan rapor pada tahun pertama Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla didominasi angka merah.
“Rapor masih banyak merahnya, ekonomi terpuruk. Karenanya, ke depan, mesti ada evaluasi besar-besaran. Perlu ada langkah revolusioner yang konkrit dalam mewujudkan janji-janji kampanye tempo hari. Ini adalah peringatan serius bagi pemerintah untuk tidak banyak ‘main-main’. Harus serius. Jika tidak, maka kondisi sosial-politik bisa terdistorsi dan ujung-ujungnya bisa menuju kondisi yang chaotic,” kata Wakil Ketua Komisi VI Heri Gunawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta seperti dilansir situs resmi dpr.go.id pekan lalu.
Bagi wakil rakyat dari dapil Jawa Barat IV ini cara paling mudah untuk melakukan penilaian adalah seberapa berhasil pemerintahan Jokowi-Kalla merealisaikan APBN Perubahan 2015. Dalam waktu satu tahun ini, ekonomi nasional menunjukkan gejala pesimistik alias kendur. Ketahanan ekonomi nasional juga sedang dalam tahap kritis. Parameternya, pertama, pertumbuhan ekonomi nasional yang terus tertekan. Dari data BPS, saat ini, ekonomi hanya tumbuh 4,67%. Dan ini adalah yang terburuk dalam 5 tahun terakhir.
Kedua, jumlah pengangguran yang meningkat. Sesuai data BPS, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) meningkat 300 ribu orang atau naik sebesar 0,81 persen. Peningkatan pengangguran ini memperkuat indikasi bahwa ekonomi nasional sedang ‘sakit’. Buruknya kinerja ekonomi hingga triwulan III 2015 telah berimbas kepada bertambahnya jumlah pengangguran. Padahal, jumlah orang yang butuh pekerjaan terus bertambah 3 juta orang.
Ketiga, laju inflasi yang tertinggi se-ASEAN. Berdasarkan analisis IGJ, misalnya, laju inflasi bergeser dari proyeksi yang ditetapkan sebesar 4,4 persen. Bulan Mei 2015, laju inflasi mencapai 7,15 persen atau naik sebesar 2,75 persen dari target pemerintah. Saat ini, inflasi Indonesia adalah yang tertinggi se-ASEAN sebesar 6,18%.
“Tidak hanya di daerah perkotaan, kenaikan inflasi juga di daerah pedesaan yang ditandai dengan naiknya indeks seluruh kelompok konsumsi. Lebih jauh, kenaikan harga BBM bersubsidi menjadi komponen tertinggi penyebab inflasi, di samping komponen lain seperti naiknya harga sembako; beras, bawang, dan daging. Gejala seperti ini seharusnya menjadi pelajaran penting bagi pemerintah untuk lebih banyak mendengar dan tidak terburu nafsu membuat kebijakan, yang ujung-ujungnya, mengorbankan rakyat kecil. Bagi nelayan, misalnya, BBM menjadi komponen terbesar aktivitas produksi sehingga, begitu harga BBM dinaikkan, nilai tukar nelayan langsung anjlok,” tandas politisi Fraksi Partai Gerindra ini.
Parameter keempat, Nilai Tukar Petani dan Nelayan yang anjlok. Kita semua tahu, petani dan nelayan adalah kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang rentan terhadap gejolak perekonomian nasional ini. Dampak dari buruknya ekonomi nasional telah menyebabkan anjloknya nilai tukar petani dan nelayan. Bahkan, peningkatan jumlah pengangguran 2015 pun disumbang dari tenaga kerja di sektor pertanian.
Begitu juga dengan nelayan. Dampak kenaikan BBM pada pertengahan menyebabkan anjloknya Nilai Tukar Nelayan hingga angka 102,97 yang merupakan angka terburuk dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Berdasarkan data BPS dan analisis IGJ, hingga kini NTN masih menunjukkan nilai yang fluktuatif. Komponen BBM menempati hingga 60-80 persen dari total biaya melaut. Selain itu, distribusi BBM yang tidak merata pun turut menjadi penyebabnya.
Parameter kelima, kinerja investasi. Hingga saat ini, realisasi investasi yang terbilang sangat minim dan hanya berkontribusi di bawah 2% pada pertumbuhan PDB. Selanjutnya, investasi asing yang masuk tidak diikuti dengan penyerapan tenaga kerja. Terbukti, dari data BKPM, telah terjadi penurunan serapan tenaga kerja sekitar 50 ribu orang pada triwulan yang lalu.
Parameter keenam, utang luar negeri yang membengkak. Sampai triwulan II-2015, Utang LN yang harus dibayar sudah membengkak di atas USD 300 miliar, terdiri dari ULN sektor publik sebesar USD 134,6 miliar (44,2% dari total ULN) dan ULN sektor swasta sebesar USD 169,7 miliar (55,8% dari total ULN). Kalau dirupiahkan dengan asumsi 1 dolar = Rp 13.500 sama dengan Rp 4000 triliun. Itu besar sekali. Dua kali lipat dari APBN.
“Utang itulah yang terus menggerus cadangan devisa dan hasil ekspor yang sudah sangat kritis. Lebih-lebih kinerja ekpor pemerintah terus anjlok. Di saat yang sama, pemerintah terus membuka peluang impor. Terakhir, pemerintah membuka importasi beras dan gula jutaan ton,” papar dia.
Selanjutnya, paket-paket kebijakan ekonomi pemerintah Jokowi-Kalla yang baru-baru ini diterbitkan, tidak terlalu menyentuh persoalan mendasar. Malahan justru bisa jadi “blunder” bagi ketahanan ekonomi. Paket tahap 1 didominasi oleh deregulasi yang bertentangan dengan Trisaksi guna mewujudkan kedaulatan dan kemandirian ekonomi.
Pemerintah lewat Kemendag banyak merevisi regulasi yang selama ini memproteksi ekonomi nasional. Sebut saja, misalnya, revisi atas Permendag No. 08/2012 tentang Ketentuan Impor Besi atau Baja dan Permendag No. 28/2014 yang menghilangkan ketentuan wajib rekomendasi dari Kementerian Perindustrian dan verifikasi Surveyor untuk mempermudah impor. Itu juga sangat mengancam usaha untuk meningkatkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dalam berbagai proyek infrastruktur.
Berikutnya, paket ekonomi tahap 2 terkait investasi. Kebijakan itu belum menyentuh 2 masalah pokok. Pertama, jaminan terhadap penyerapan tenaga kerja yang maksimal dari masuknya investasi. Karenanya, saya berharap pemberian kemudahan layanan, pemberian tax allowance dan tax holiday, serta pemberian berbagai insentif itu harus selektif.
Persoalan pokok berikut, lemahnya pengawasan dari BKPM atas penerapan berbagai paket kebijakan mempermudah investasi. Selama ini, aspek pengawasan atas kebijakan investasi di Indonesia tidak menyeluruh. Biasanya di awalnya bagus, tapi bisa terdistorsi di tengah jalan. Akhirnya, investor banyak mengeluh di lapangan. Ini penting digarisbawahi, dan karenanya diperlukan penegakan hukum yang kuat dan tuntas.
Terakhir, terkait paket ekonomi tahap tiga yang tidak konkret dan tumpang tindih serta tidak berefek pada peningkatan daya saing. Sebagai contoh, pemerintah ingin dorong ekspor, tapi di saat yang sama, membuat deregulasi besar-besaran yang membuka peluang impor yang besar. Lalu, pemerintah ingin mencegah PHK, tapi di saat yang sama, mencabut proteksi-proteksi non-tarif yang menyulitkan tumbuhnya UKM. Ujungnya, arah kebijakan-kebijakan yang tumpang tindih itu membuat pelaku usaha bingung.
Pada bagian akhir ia memberi catatan khusus pada presiden. “Ideal normatif minimal seorang presiden sebagai pemimpin negara, merupakan kombinasi dari leader dan manager. Bila seorang presiden tidak memiliki kemampuan itu, maka dapat dipastikan presiden tersebut adalah pemimpin yang ‘dipaksakan’ untuk kepentingan politik praktis sesaat yang menyesatkan dan merugikan banyak pihak termasuk negara bangsanya,”ujarnya. (dpr)