Rahayu Saraswati Beberkan Penghalang Implementasi UU Perlindungan Anak

DPR Fraksi Gerindra Gerindra Headline Indeks Komisi VIII News Rahayu Saraswati Djojohadikusumo Terkini UU Perlindungan Anak


MESKI baru saja direvisi pada tahun lalu, sejumlah kalangan kini telah mempertanyakan kembali seberapa jauh Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA) bisa menjadi payung yang cukup kokoh bagi perlindungan anak-anak Indonesia.

Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi VIII DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra yang membidangi masalah sosial dan perlindungan anak, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo mengakui memang tidak sedikit kalangan yang seolah patah arang bicara tentang penerapan UU tersebut di lapangan.

“Sebab sejumlah pasal UUPA menuntut perubahan paradigma kerja lembaga terkait. Dan itu belum terealisasi. Seperti dalam kejahatan terhadap anak, di mana pengakuan anak merupakan satu barang bukti,” kata wanita yang akrab disapa Sara ini di Jakarta, Selasa (6/10).

“Namun kerap polisi masih menyamakan kejahatan terhadap anak dengan kejahatan lainnya, sehingga pengakuan anak cenderung diabaikan,” tambahnya.

Selain itu, lanjut Sara, UUPA membutuhkan adanya sistem perlindungan anak. Tapi hingga kini belum ada sistem tersebut.  Akibatnya, langkah-langkah perlindungan anak pun terlihat sporadis dan tidak terintegrasi satu sama lain.

Bahkan lanjut Sara, hingga saat ini masih ada perbedaan pemahaman tentang tugas pokok dan fungsi (tupoksi) Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai salah satu lembaga yang mendapat penekanan ekstra di dalam UUPA.

“Sebetulnya KPAI lebih sebagai lembaga pengawasan dan koordinator, bukan lembaga eksekutor. Salah kaprah dalam memandang KPAI pada gilirannya memunculkan ekspektasi-ekspektasi yang tidak proporsional, sehingga tolak ukur keberhasilan kerja KPAI pun menjadi bias,” ungkapnya.

Selain itu, Sara juga menilai, saat ini masalah perlindungan anak masih cenderung dipandang sebagai isu domestik, bukan kepentingan publik. “Akibatnya, sistem peringatan dini yang semestinya bisa dibangun sebagai bentuk resiliensi masyarakat tidak berjalan efektif karena ada keengganan untuk ikut campur dalam masalah keluarga lain,” imbuhnya.

Bahkan revisi UUPA khususnya terkait pasal-pasal pemidanaan, kata Sara, adalah cerminan kegagalan otoritas penyusun legislasi dalam mengartikulasikan kemarahan publik saat menentukan berat ringannya sanksi terhadap pelaku kejahatan terhadap anak.

Selain itu, unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) hingga saat ini masih berada pada level Polres. Padahal, kecepatan dalam merespon kasus-kasus kejahatan terhadap anak akan lebih tinggi jika unit PPA bisa didorong hingga ke level Polsek.


Karena itu, ujar Sara, sesuai fungsinya, Komisi VIII DPR RI memiliki peran strategis untuk melakukan pemantauan terhadap kinerja eksekutif. Inpres GN-AKSA, sebagai produk kebijakan eksekutif, juga termasuk menjadi bahan cermatan DPR.

“Bahkan karena Inpres GN-AKSA ditujukan kepada seluruh kepala daerah, maka sudah seharusnya DPRD di seluruh daerah juga melakukan pemantauan intensif terhadap kerja kepala daerah, lembaga atau dinas setempat di bidang pencegahan dan penanganan anak dari kejahatan seksual maupun kejahatan-kejahatan lainnya,” jelas Sara.

Dengan demikian, Sara yang tergabung dalam Panitia Kerja (Panja) Perlindungan Anak DPR RI menakar sekaligus mendorong percepatan kerja K/L terkait di bidang perlindungan anak.  “Utamanya mengenai program kerja pencegahan dan penanganan kejahatan seksual terhadap anak,” tukasnya. ( Yayat R Cipasang)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *