Wakil Ketua Komisi X DPR RI Ridwan Hisyam. Foto : dpr.go.id |
JAKARTA, KABARPARLEMEN.COM- Wakil Ketua Komisi X DPR RI Ridwan Hisyam menegaskan jika RUU Kebudayaan yang sedang dibahas oleh Panja ini sudah dibahas oleh anggota DPR RI sejak tahun 2007 sampai 2014, namun gagal. Dan, RUU inisiatif DPR RI ini kembali diserahkan ke Baleg DPR RI pada September 2014.
“RUU ini terakhir dibahas pada Juli 2014 lalu tapi kehabisan waktu, dan baru pada September 2014 diserahkan ke Baleg DPR RI dan pada Agustus ini menjadi keputusan sebagai hak inisiatif DPR RI. UU ini diperlukan, karena UU terkait seperti UU Film, UU Cagar Budaya, dan UU Pariwisata belum ada induknya,”kata Ridwan Hisyam dalam diaskusi forum legislasi ‘RUU Kebudayaan’ bersama budayawan Radhar Panca Dahana dan sejarawan UI Bondan Kanumoyoso di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (25/8).
Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf membutuhkan Rp 1,5 triliun untuk pengembangan 16 industri kreatif yang akan dilakukan Menkeraf. Hal itu terkait Presiden Jokowi pada tahun 2019 menargetkan pariwisata leading sektor untuk pendapatan negara tertinggi. “Kalau UU ini berhasil maka devisa negara ditargetkan meningkat, dan pariwisata akan berkembang pesat,” ujar Ridwan seperti dikutip dari situs resmi DPR RI.
Menteri Pariwisata Arif Yahya sendiri mengajukan anggaran Rp 4,5 triliun dari sebelumnya Rp 2 triliun dengan menargetkan 2 juta turis asing dan 20 juta turis domestik pada tahun 2016. “Jadi, tantangan ke depan perlu UU yang memayungi semua kategori seni, budaya dan pariwisata termasuk film dan industri kreatif lainnya. Thailand dengan film Cian May, ternyata menjadi promosi pariwisata di dunia,” kata Ridwan, politisi dari Partai Golkar ini.
Substansi RUU Kebudayaan merupakan penjabaran UUD NRI 1945 (Pasal 18B, 28,29,32, dan pasal 36), berlandaskan Pancasila dan secara substansi menjangkau kebutuhan dan perkembangan jaman. Luas Indonesia terdiri dari 5.193.252 Km2 yang terdiri dari atas 1.890.754 Km2 luas daratan, dan 3.302.498 Km2 luas lautan. Luas daratan Indonesia hanya sekitar 1/3 dari luas seluruh Indonesia sedangkan 2/3-nya berupa lautan. “Ini yang harus dijangkau oleh UU Kebudayaan ini,” pungkasnya.
Budayawan Radhar Panca Dhana menjelaskan, pemerintah sejak dulu tidak mau ikut campur tangan dan seniman juga menolak di intervensi.
Yang menjadi pertanyaan kata Radar, siapa yang bisa merumuskan kebudayaan? Ada Candi Borobudur, Prambanan, artefak, dan tempat-tempat bersejarah masa lalu itu merupakan produk kebudayaan, sehingga kebudayaan itu yang memproduksi sesuatu. Sekarang seperti pabrik-pabrik, industri dan era yang melahirkan kita seperti saat ini. “Jadi, tak ada yang bisa merumuskan kebudayaan itu. Sedangkan peninggalan sejarah itu produksi nenek moyang, bukan kita. Bukan Orde Lama, bukan Orde Baru,” tambahnya.
Seoharto memasung pemikiran dan imajinasi rakyat, maka lahirlah generasi sekarang ini. Bahwa kebudayaan yang buruk akan menghasilkan produk yang juga buruk; birokrasi dengan mental korup: maka dibutuhkan mental, pola-pikir (maindset), spirituality, morality, norma dan setetika, tapi hal itu tak bisa diperbaiki dengan RUU ini.
Karena itu kata Radar, gagasan kebudayaan itu terdiri dari lima yaitu value (nilai), norma, mentality (moralitas), etika, dan estetika (mempunyai kapabilitas untuk apresiasi produk-produk orang, bangsa lain, kalau tidak, estetikanya rendah. Namun merubah maindset itu dibutuhkan minimal 150 tahun.
“Dan, yang bisa merubah lembaga negara adalah tradisi (keluarga) dan agama (pesantren, masjid, ulama, kiai, ustadz, ajengan, teuku) dll. Tapi, ketiganya itu kini macet pada penciptaan budaya. Sebab, kalau penciptaan itu sama dengan kita belajar ke London, AS, Perancis, tapi sepulangnya dari Barat, lupa dengan Jawa, Sunda, Batak, Bugis, Madura dan lainnya, meski sudah lulus S3,” tuturnya.
Lalu apakah perlindungan terhadap film? “Film itu justru menjadi senjata utama untuk diplomasi kebudayaan. Maka di Barat film justru diback up oleh negara, sehingga berbagai kebutuhan film digratiskan dan bagaimana film Hollywood menjadi tuan rumah di negeri orang, sehingga film Indonesia pun kalau bisa menjadi tamu di negerinya sendiri. “AS berkepentingan film-nya menjadi tuan rumah di seluruh dunia,” jelas Radar.
Menjaga Ketahanan Budaya
Sementara itu, Sejarawan Universitas Indonesia, Bondan Kanumayoso menegaskan bahwa seluruh elemen di republik ini harus benar-benar memperhatikan ketahanan budaya yang dimiliki selama ini. Jika tidak, bukan sesuatu yang mustahil jika budaya bangsa ini akan tersingkirkan. “Bicara ketahanan bukan hanya ekonomi, tetapi juga ketahanan budaya. Ini harus dicermati sedemikian rupa,” kata Bondan
Masuknya berbagai bentuk budaya asing ke dalam negeri, lanjutnya, tidak boleh dijadikan alasan sehingga pemerintah bisa membawa kebudayaan itu sendiri ke dalam ranah formal. Sebab, jika itu dilakukan akan terjadi hambatan terhadap karya-karya budaya yang dihasilkan oleh masyarakat. “Jika diformalkan maka akan mengungkung kreativitas-kreativitas kebudayaan itu sendiri. Apakah perlu bentuk komisi kebudayaan?” tanya Bondan.
Kalaupun pemerintah ataupun DPR RI akan membuat undang-undang terkait kebudayaan, menurutnya, perlu adanya penjelasan pada ranah-ranah mana produk hukum tersebut akan berada. Sedangkan, rancangan undang-undang kebudayaan yang ada saat ini menurutnya terlalu bertele-tele. “RUU ini sendiri terlalu panjang,” ujar Bondan.
Meski demikian, Bondan mengaku senang dengan inisiatif DPR RI untuk melakukan terobosan agar undang-undang kebudayaan itu sendiri dimiliki oleh rapublik tercinta ini. “RUU Kebudayaan itu sendiri patut diapresiasi. Selama ini kan masalah budaya itu sendiri masih dalam perdebatan, belum pada norma yang pasti,” ujar Bondan.(nt/sc/dpr)