![]() |
Joko Widodo (Jokowi) membacakan pidato pertamanya sebagai Presiden RI, Senin (20/10). Foto : AP. |
JAKARTA, KABARPARLEMEN.COM- Anggota DPR RI Komisi IV Rofi Munawar melihat Pidato Presiden Jokowi Di Depan Sidang Bersama Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPR RI) dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPD RI) kemarin, (14/8) sangat normatif dan harus banyak pembuktian khususnya dalam bidang ekonomi.
“Pidato Presiden seakan sedang menjauhkan diri dari realitas dan kondisi kekinian, tekanan ekonomi yang luar biasa ditingkat global dan lemahnya antisipasi tim ekonomi dianggap sebagai sesuatu yang tidak berbahaya. Padahal secara faktual, mitigasi ekonomi yang dilakukan pemerintah selama ini sangat buruk karena tidak mampu bergerak cepat terhadap kondisi yang terus berkembang,” ungkap Rofi Munawar dalam keterangan pers pada hari Sabtu, (15/8) di Jakarta.
Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bidang Industri dan Pembangunan (Inbang) ini menambahkan bahwa dalam pidato tersebut Presiden mengungkapkan fakta bahwa, dalam 15 tahun terakhir, Indonesia juga mengalami lonjakan Produk Domestik Bruto (PDB), dari sekitar 1000 triliun rupiah, menjadi sekitar 10 ribu triliun rupiah dan telah menjadi kekuatan ke-16 ekonomi dunia. Namun ironisnya modal ekonomi yang dimiliki oleh pemerintah baru dari pemerintah sebelumnya, belum bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh pemerintah. Presiden Jokowi tidak menjelaskan bagaimana seharusnya kekuatan ekonomi tersebut dikelola dengan baik dan bisa menjadi kekuatan baru ekonomi dunia.
“Keinginan Pemerintah untuk melakukan pembangunan mulai dari pinggir, sebagaimana yang terdapat dalam Nawacita dan RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) belum terlihat dan tidak jelasnya konsep pemerintah dalam merealisasikan “membangun dari pinggir”. Justru sebaliknya banyak kebijakan pemerintah pusat, yang berdampak tidak baik terhadap kondisi ekonomi nasional saat ini, seperti: inflasi tinggi, ancaman PHK, ketimpangan antar daerah dan wilayah.” Jelasnya.
Dalam bidang pangan, fenomena terkini terkait kenaikan beragam harga komoditas pangan maupun kebutuhan pokok seperti daging sapi, daging ayam, telur dan banyak lainnya tidak disinggung sedikitpun dalam pidato tersebut. Demikian pula dengan krisis kekeringan yang melanda hampir sebagian besar areal sawah produktif di Indonesia, tidak tercermin pesan yang jelas mengenai strategi perencanaan dan penanggulangan yang komprehensif. Pidato tersebut sangat kontradiktif dengan realitas lapangan dimana kebutuhan bahan pokok naik, disisi lain petani mengalami kelesuan seperti apa yang terjadi di Garut membuang produksi tomatnya akibat murahnya harga.
“Presiden bahkan tidak berani untuk menjelaskan mengapa indonesia belum mencapai kedaulatan pangan, rentan gagal panen, dan mudah diterpa ketidakstabilan harga pangan. Sejatinya itu semua terjadi karena sistem tata niaga pangan nasional yang tidak berimbang, indikasi mafia yang tidak ditindak tegas, infrastruktur pertanian yang buruk dan manajemen stok yang berorientasi kepada impor.” Tegasnya.
Presiden Joko Widodo menargetkan pertumbuhan ekonomi tahun 2016 mencapai 5,5 persen. Targetkan tersebut memperhitungkan seluruh dinamika perekonomian global dan domestik, serta prospek perekonomian nasional. laju inflasi tahun 2016 diperkirakan mencapai 4,7 persen. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti perkembangan harga komoditas pangan dan energi dunia, pergerakan nilai tukar rupiah, serta perubahan iklim.(Iman Firdaus)