Komplek DPR/MPR/DPD RI. Foto : Marwan/Kabarparlemen.com |
JAKARTA, KABARPARLEMEN.COM- KETUA Fraksi PDI Perjuangan MPR RI Ahmad Basarah berharap Pimpinan MPR RI menjadi rekonsiliator atau sebagai penengah dalam konflik antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP). Pimpinan MPR harus mampu mencari solusi di luar aturan formal struktural dan mengambil langkah normatif kultural agar konflik DPR tidak bekelanjutan dan segera bekerja untuk rakyat.
“Ketika kisruh di DPR maka MPR bisa menyelesaikan konflik itu. Seperti juga langkah-langkah yang dilakukan oleh almarhum Taufik Kiemas,” kata Basara dalam dialog kenegaraan ‘’Peran MPR RI ke Depan’ bersama Dwi Bayu Anggoro pengamat politik dari Universitas Negeri Jember dan Direktur Indo Strategic Indonesia dan pengajar UIN Syahid Jakarta Andar Nubowo di Gedung MPR RI Jakarta, Senin (3/11/2014).
Sesuai UU No.27/2009 yang direvisi menjadi UU No.17/2014 tentang UU MD3 menurut Basarah, Pimpinan MPR wajib melakukan koordinasi dengan lembaga parlemen lainnya, yaitu DPR dan DPD. “Dalam transisi politik saat ini, MPR harus mampu mengayomi dan menjadi fasilitator politik. Pak Zulkifli Hasan, saya kira bisa selesaikan konflik DPR saat ini,” tambahnya.
Dwi Bayu Anggoro juga sependapat jika Pimpinan MPR itu negarawan seharusnya bisa menyelesaikan konflik DPR melalui rapat paripurna dengan mengundang resmi kedua kelompok, KIH dan KMP. “Saat ini MPR belum berbuat apa-apa terhadap konflik internal DPR. Padahal, MPR mempunyai kewenangan itu, karena DPR tidak mengutamakan musyawarah mufakat,” ujarnya.
Andar Nubowo juga menyatakan hal yang sama. MPR harus keluar dari peran normatif ke peran kulturalnya dengan berdiri di tengah antara KMP dan KIH. “Semua harus kembali ke sila ke-4 Pancasila. MPR memang produk politik, tapi dalam konflik harus mampu mengabaikan ego sentrisnya. Baik KMP maupun KIH,” pungkasnya (Yayat Cipayang/bkmp)