Publik Perlu Mengawasi Kinerja DPRD

DPRD Headline Indeks News Terkini
Ilustrasi sidang DPRD. Foto : dprd-jogjakota.go.id

JAKARTA, KABARPARLEMEN.COM- Salah satu dampak dari otonomi daerah adalah adanya desentralisasi politik, dimana daerah dapat menentukan sendiri pemimpinnya melalui mekanisme Pilkada langsung.

Alih-alih memperkuat desentralisasi dengan memperbanyak kewenangan kepada daerah dalam rangka mempercepat kedaulatan dan kesejahteraan rakyat, pusat melalui DPR justru menarik kembali kewenangan besar yang telah diberikan.

“Dipilih atau tidak oleh DPRD, sebenarnya bukan masalah prinsipil. Namun kenapa pemilihan langsung melalui DPRD menjadi pilihan yang buruk saat ini, karena kinerja DPRD yang buruk. Kecuali DPRD berkinerja baik, itu lain soal.” kata Abdul Malik Gismar, Koordinator Peneliti Utama IGI (Indeks Governance Indeks)-Kemitraan kemarin melalui rilisnya yang diterima Kabarparlemen.com.

Lemahnya kinerja DPRD terlihat dari hasil IGI 2012 dan 2014. “Pejabat politik di provinsi dan kabupaten/kota merupakan arena paling rendah nilainya. Di sisi lain, kinerja DPRD selama ini belum terbukti berhasil.

“Untuk melaksanakan fungsi utamanya (kerangka kebijakan, penganggaran, dan pengawasan) saja belum maksimal, apalagi ditambah dengan wewenang menentukan kepala daerah.” Papar Lenny Hidayat, peneliti utama IGI-Kemitraan.

“Fungsi pembuatan kerangka kebijakan dan pengawasan merupakan kinerja yang paling lemah, ditambah dengan tertutupnya saluran partisipasi dan akses terhadap dokumen-dokumen publik, serta laporan kinerja DPRD.” Tambah Lenny.

Lima DPRD terburuk di IGI 2014 adalah Kabupaten Seluma (2,10); Kabupaten Sampang (2,33); Kota Jayapura (2,44); Kabupaten Lombok Utara (2,55); dan Kota Pontianak (2,70). Sementara lima tertinggi adalah Kota Tarakan (5,22); Kabupaten Siak (5,01); Kota Tanjung Pinang (4,64); Kabupaten Sigi (4,4); dan Kabupaten Ogan Komering Ulu (4,23).

Di sisi lain, DPRD memiliki peranan yang sangat besar dalam menentukan perubahan di daerah. “Kunci perubahan yang selama ini diyakini berada di tangan Kepala Daerah ternyata tidak sepenuhnya benar, karena sebagus-bagusnya kualitas Kepala Daerah hanya bisa dipilih maksimal 2 periode atau 10 tahun.” Ujar Inda Loekman, KRC Manager Kemitraan.

Sementara anggota DPRD tidak memiliki batas maksimal. “Selama dicalonkan oleh partai politik dan dipilih rakyat, maka selama itu pula akan menjadi anggota DPRD.”

Maka tidak heran jika kita mendapati anggota DPRD yang tidak kompeten dan pernah menjadi pesakitan akibat kasus korupsi tetap bisa terpilih kembali tanpa disadari oleh para pemilih.

Maka yang dapat dilakukan oleh rakyat sekarang adalah mengawasi kinerja anggota DPRD. “Jika eksekutif memiliki legislatif untuk mengawasi kinerjanya, lalu siapa yang mengawasi kinerja legislatif?”

Tidak hanya DPRD, IGI juga merekomendasikan agar pemerintah dan publik dapat mengawasi kinerja Partai Politik, sebab dari merekalah seleksi awal calon-calon anggota legislatif dilakukan. “Institusi yang bertanggung jawab untuk pengkaderan adalah partai politik, tetapi ironisnya masyarakat tidak pernah meminta pertanggungjawaban, dan tidak ada satupun institusi yang bisa “menghukum” partai politik pemilik kader berkinerja buruk di pemerintahan.” Ujar Pak Wicaksono Sarosa, Direktur Eksekutif Kemitraan.

“Padahal masyarakat punya hak untuk meminta pertanggungjawaban kepada Partai politik, karena faktanya mereka menerima bantuan dana Bansos dan Hibah yang notabene diambil dari pajak rakyat.” tambah Nico Harjanto, pengamat politik dari Populi Center.

Untuk itu, publik jangan hanya pasrah dan menunggu 5 tahun lagi untuk kemudian menghukum partai politik dengan tidak memilih calonnya di Pemilu. “Desak partai politik untuk transparan, melakukan seleksi ketat terhadap kader yang akan dicalonkan pada Pemilu, dan laksanakan tugas-tugasnya, dimana salah satunya adalah melakukan pendidikan politik kepada publik.” tegas Nico Harjanto.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *