JAKARTA, KABARPARLEMEN.COM- Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Abdul Fikri Faqih meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI meluruskan soal kewajiban bagi peneliti dan dosen mempublikasikan penelitian ilmiah ke dalam jurnal internasional yang terindeks scopus.
“Dalam perundangan tidak bunyi demikian, seharusnya kampus tidak memaksakan harus daftar dan mempublikasikan dalam scopus,” kata Fikri kepada Kabarparlemen.com di Jakarta.
Fikri
mengutip sumber hukum dari dua undang-undang yang mewajibkan adanya
penelitian harus dipublikasikan, yakni UU nomor 12 tahun 2012 tentang
Perguruan Tinggi dan UU Nomor 11 tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi.
“Disebutkan penelitian dipublikasikan pada
jurnal ilmiah yang terakreditasi dan atau buku yang diterbitkan
perguruan tinggi atau penerbit lain dengan ISBN,” jelas dia mengutip
penjelasan Pasal 46 ayat (2) UU nomor 12/ 2012.
Jadi,
menurutnya keharusan mempublikasikan ke dalam jurnal internasional yang
terindeks scopus adalah sebuah kekeliruan menerjemahkan
peraturan. “Mungkin awalnya pernah ada aturan setingkat permen, tapi
kemudian sudah direvisi,” imbuh Fikri.
Dirinya
menyebut Peraturan Menteri Ristek-DIkti Nomor 20 tahun 2017 tentang
pemberian tunjangan profesi dosen dan tunjangan kehormatan profesor yang
merupakan revisi terakhir. Dalam Permen tersebut, syarat pemberian
tunjangan salah satunya dengan penerbitan publikasi ilmiah dalam jurnal
internasional bereputasi. “Sekali lagi, tidak ada kewajiban harus
scopus,” tambah Fikri.
Fikri
mengakui adanya laporan soal kewajiban publikasi ilmiah yang harus
terindeks scopus masih ditemui di lapangan oleh para pembimbing
penelitian ataupun pihak kampus. “Makanya kami minta Kemendikbud
kembali meluruskan hal tersebut agar tidak terjadi salah tafsir,”
ucapnya.
Fikri
menambahkan, hal itu merupakan bagian dari usulan para peneliti,
mahasiswa magister, dan doktoral, karena adanya biaya tambahan bagi
setiap orang yang akan mempublikasikan karyanya ke jurnal terindeks
scopus. “Kami sendiri mengalami harus membayar setidaknya USD 100 agar
bisa publikasi ke jurnal tersebut,” katanya.
Meski
demikian, Fikri mendorong agar penelitian ilmiah hasil karya anak
bangsa dapat terus dipublikasikan sesuai kewajiban
perundangan. “Artikel yang disitasi berarti telah mengandung konten
yang layak secara ilmiah sebagai sumber kebenaran pengembangan
keilmuan,” katanya.
Selain itu, karya ilmiah dalam negeri yang banyak disitasi pun akan mendapatkan h-index tinggi sebagai bukti indikator pengakuan dunia akademik terhadap eksistensi dan kualitasnya pendidikan di Indonesia.
Hal
tersebut sesuai dengan visi pendidikan tinggi Indonesia menuju World
Class University. “Pengalaman ketika berdialog dengan lembaga penelitian
asal Bremen, Jerman, bahwa penelitian di negara itu adalah sebuah
kemestian agar terus berinovasi teknologi,” lanjut Fikri.
Namun
demikian menurutnya, publikasi adalah sesuatu yang berbeda dengan
penelitian. “Terutama untuk hasil penelitian teknologi yang dipatenkan,
tentu aksesnya harus seizin peneliti atau penulisnya.”
Sama
halnya dengan universitas berkelas dunia di Australia. Fikri
mencontohkan ketika pembahasan Rancangan Undang-Undang Serah Simpan
Karya Cetak dan Karya Rekam (SSKCKR), Komisi X bersama Perpusnas
berdialog dengan civitas akademi dan perpustakaan antara lain Australia
National University (ANU), Nge Ann Academy, dan The National Library of
Australia. “Khusus di ANU, semua produk penelitian sivitas akademika
ANU wajib disubmit ke 5 jurnal internasional yang diterbitkan oleh ANU
sendiri,” ujarnya. (Wan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar