![]() |
Ilustrasi pegawai Komisi Pemilihan Umum melakukan simulasi pemungutan suara pemilihan kepala daerah di halaman gedung KPU, Jakarta. Foto :VIVA.co.id/Anhar Rizki Affand |
Hal
itu disampaikan oleh Yudi menyusul rentannya konflik sosial yang
terjadi pada pilkada serentak di 269 (dua ratus enam puluh sembilan)
daerah tersebut.
"Pilkada serentak ini rentan terjadi konflik sosial. Oleh karena, akses
kekuasaan yang diperebutkan sangat dekat dengan basis konstituen atau pendukung
masing-masing calon,"Kata Yudi melalui siaran persnya yang diterima Kabarparlemen.com kemarin.
Beberapa
indikasi potensi konflik tersebut, menurut Yudi, mulai terlihat pada
tahap pendaftaran, dimana putusan yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum
(KPU) tidak
serta merta diterima begitu saja oleh pihak berkepentingan. "Sehingga,
muncul berbagai
penolakan sebagaimana terjadi di Kabupaten Mamuju Utara, Kota Mataram,
dan
daerah lainnya," tegas Politisi PKS dari daerah pemilihan Papua
tersebut.
Sebagaimana diketahui, berdasarkan data Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu), dari 269 daerah tersebut, masih terdapat 69 kasus sengketa sejak pendaftaran hingga penetapan pasangan
calon. Dari kasus tersebut, 20 kasus sengketa sudah diputuskan, 4 kasus sengketa
dinyatakan gugur, dan masih 38 kasus sedang dalam proses musyawarah.
"Namun demikian, dari 20 kasus sengketa
yang telah selesai itu bukanlah hasil musyawarah mufakat pihak yang sedang
bersengketa, melainkan keputusan pengawas pemilu. Sehingga, keputusan itu bisa saja memicu terjadinya konflik sosial antar
pendukung pasangan calon di kemudian hari," tegas Yudi.
Yudi berharap 38 kasus pilkada yang saat ini masih sengketa dapat diselesaikan dengan proses musyawarah. "Jika sengketa itu
tidak diselesaikan dengan benar dan adil maka akan memicu konflik
sosial," tandasnya.(Marwan Azis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar